UMK
Perusahaan-perusahaan kapal di Penyeberangan Gilimanuk-Ketapang mendapat sorotan dari SPSI dan ditekankan untuk memperhatikan hak-hak buruh yang bekerja. (BP/olo)

NEGARA, BALIPOST.com – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jembrana menolak kegiatan monitoring UMK (Upah Minimum Kabupaten) sebagai bentuk protes. Perwakilan pekerja ini menilai belum ada tindakan konkrit dari pemerintah untuk menindak perusahaan yang tidak memenuhi UMK.

Monitoring ini dilakukan melibatkan unsur tripartit yakni Pemerintah, Apindo (perusahaan) dan SPSI (pekerja). Fungsinya untuk memastikan perusahaan-perusahaan di Jembrana telah memenuhi UMK yang ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan penetapan, UMK Jembrana tahun 2018 ini senilai Rp 2.181.393.

Ketua SPSI Jembrana, Sukirman, Rabu (14/2) mengatakan, tindakan SPSI Jembrana menolak mengikuti monitoring merupakan sebagai bentuk protes karena masih adanya beberapa perusahaan melanggar tetapi tidak ditindak. “Beberapa kali saya mendapati permasalahan pekerja dan sudah kami laporkan ke Dinas, tidak ada tindakan riil,” terangnya.

Baca juga:  Ini, Besaran UMK di Badung untuk 2019

Bukan hanya terkait upah, tetapi juga hak-hak tenagakerja yang dilindungi Undang-undang. Misalnya terkait ijazah asli karyawan yang ditahan perusahaan dan dikenai denda ketika keluar sebelum satu tahun kerja. “Karyawan ini Sarjana dan selama bekerja di RS swasta itu gajinya jauh dibawah UMK. Ketika baru delapan bulan (kurang dari satu tahun) keluar, harus menebus belasan juta rupiah,” tambah Sukirman.

Pemerintah melalui Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpatu Satu Pintu dan Tenaga Kerja Jembrana sejatinya sudah mengetahui permasalahan tersebut. Tetapi tidak ada tindakan. Padahal jelas RS tersebut menurutnya juga sudah tidak memenuhi UMK. Kondisi ini juga terjadi di sejumlah perusahaan-perusahaan yang semestinya memberikan upah sesuai UMK. Dari hasil monitoring-monitoring yang diikutinya, setiap temuan tidak ada tindaklanjut konkrit.

Baca juga:  Serikat Pekerja Mandiri Hotel di Seminyak Sampaikan Aspirasi ke Dewan

Selain itu juga terkait tenagakerja di sektor penyeberangan laut yang notabene sebagian besar di Gilimanuk, Melaya. Perusahaan-perusahaan pelayaran (kapal) menurutnya cenderung mengabaikan upah para buruh di kapal.

Upah mereka tidak sesuai UMK, padahal resiko kerja mereka juga cukup tinggi. Ketika hal ini diusut, mereka berdalih kantor-kantor cabang perusahaan kapal itu berada di Banyuwangi. Padahal sebagian besar para pekerja itu juga berasal dari Jembrana.

Sukirman juga mengharapkan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait juga lebih banyak melakukan sosialisasi tentang Ketenagakerjaan. Sehingga, OPD tersebut memang berfungsi dalam memfasilitasi ruang hak-hak para pekerja.

Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja Jembrana Ni Nengah Wartini dikonfirmasi monitoring ini dilakukan untuk memastikan UMK sudah diterapkan di Jembrana. Ketika belum, agar dicari apa kendalanya. Terkait adanya penolakan dari SPSI untuk tidak ikut monitoring, semestinya juga harus mengikuti. Sebab upaya ini dilakukan sebagai sebuah usaha membantu hubungan pengusaha dengan pekerjanya.

Baca juga:  Tapera Tak Masuk Akal untuk Bali

Untuk mendorong pengusaha memperkerjakan para pekerjanya secara layak. Pemerintah berusaha menjembatani perusahaan dan tenaga kerja itu. Selain tripartit, dalam monitoring ini juga melibatkan BPJS Ketenagakerjaan yang nantinya juga akan sosialisasi terkait jaminan perlindungan kerja bagi karyawan. Tetapi menurutnya dalam monitoring yang dilakukan kemarin memang belum melibatkan BPJS Ketenagakerjaan, kemungkinan karena kesibukan. (surya dharma/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *