PLN
Ilustrasi pemeliharaan jaringan listrik. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memiliki ptotensi untuk dikembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Total potensi energi yang dihasilkan dari pembangkit EBT di Bali lebih dari 104.392 MW. Namun dengan pembangkit EBT saja tidak cukup dalam menjaga keandalan listrik di Bali. Bali perlu back up, jika pembangkit dari EBT terganggu.

Sebelumnya Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PLN Dsitribusi Bali I Gusti Ketut Putra mengatakan, tahun 2018 PLN menargetkan 3 lokasi pembangkit dari EBT terealisasi. Diantaranya, Muara, Bangklet (Bangli) dan Kubu (Karangasem).

PLTM Muara bisa menghasilkan energi 1,4 MW, PLTS Bangklet (Bangli) sebesar 1 MWp (Mega Watt peak) dan PLTS Kubu (Karangasem) sebesar 1 MW.

PLT Sampah (PLTsa) di Suwung sebelumnya juga sempat beroperasi, meskipun saat ini sudah nonaktif akibat kendala biaya. Namun PLTsa Suwung telah mampu menyumbang energi sebesar 0,5 MW. Demikian juga PLT Bayu yang menghasilkan daya 2 kali 30 Kw.

Baca juga:  Penjualan Listrik di Bali Minus 6,7 Persen

Selain itu, PLN juga memiliki rencana pembangkit EBT di Bali dari tahun 2018 -2025. Yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) letaknya tersebar dengan kapasitas 0,9 MW, PLTsa yang juga tersebar dengan kapasitas 15 MW, PLTP Bedugul 10 MW, PLTM Ayung 2,34 MW, PLTM Tukad Daya 8,2 MW, PLTM Sunduwati 2,2 MW, PLTM Telagawa Ayu 1 MW, PLTM Tukad Balian 2,5 MW, PLTM Telagawaja 4 MW, PLTM Sambangan 1.852 MW, PLTP Bedugul 55 MW.

DM Energi Alternatif Divisi EBT PLN Dewanto mengatakan, listrik dari pembangkit EBT tidak selalu andal, karena tergantung situasi alam. Misalnya untuk PLTS ketika hujan, tidak bisa beroperasi maksimal. Akibatnya terjadi kekurangan pasokan atau tegangan menjadi rendah. Maka lampu akan redup atau malah mati sama sekali.

Seperti di Eropa yang mulai mengurangi penggunaan batubara sebagai pembangkit listriknya. Namun suatu ketika terjadi gangguan di Jerman yang memakai pembangkit bio dan PV (photovoltaic) mengalami pemadaman. Sehingga digunakanlah crossing dari Perancis.

Baca juga:  Saluran Irigasi Jebol, Ratusan Hektar Sawah di Tujuh Subak Terancam Kekeringan

Konsep EBT adalah mengurangi pemakaian batubara. Dengan begitu, emisi yang timbul dari pembakaran batubara bisa berkurang. Dalam upaya pengurangan penggunaan batubara ini, di negara maju sudah memberikan insentif pada perusahaan-perusahaan yang sudah berupaya mengurangi gas buangnya dan limbahnya. “Dia dapat insentif dari pemerintah. Tapi negara kita belum, walaupun wacananya sudah pernah disampaikan,” ungkapnya.

Sementara di Bali ada pembangkit EBT yaitu PV. Kelemahannya, sifatnya intermiten, hanya beroperasi 4 -8 jam dalam kondisi panas yang normal. Jika dikembangkan dengan kapasitas besar dengan kondisi panas yang kurang, sangat berbahaya bagi sistem. Sehingga perlu di-back up. “Yang paling efektif dan efisien adalah JBC, untuk mem-back up jika PV mengalami gangguan alam, mendung dan sebagainya,” bebernya saat diskusi Masa Depan Energi Terbarukan di Bali, Kamis (15/2).

Baca juga:  Belasan Pemulung Diajak Kerjasama Kumpulkan Sampah Plastik di TPA Mandung

Biaya investasi EBT yang dinilai mahal mencapai miliaran menjadi kendala. Bahkan untuk mengelola sampah menjadi energi listrik lebih mahal lagi. Namun menurutnya nilai investasi itu bersifat anomali. Karena teknologi yang baru masuk, dinilai wajar investasinya mahal. Namun, pengembang harus siap mengikuti harga sesuai dengan ketetapan pemerintah. Karena harga jual listrik dari swasta ke PLN perlu persetujuan dari Menteri ESDM.

Bali Program Manager Conservation International (CI) I Made Iwan Dewantama mengatakan, JBC boleh saja jalan karena sudah merupakan program pemerintah. “Tapi sebagai orang Bali, apakah kita mau terus dimanjakan? Kita jadi keenakan dan tidak mau melakukan sesuatu seperti mengembangkan EBT,” ujarnya. CI pun berencana melakukan riset tentang EBT di Bali namun memerlukan sokongan dana. (citta maya/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *