MANGUPURA, BALIPOST.com – Kabupaten Badung kini tengah megembangan desa wisata untuk pemerataan ekonomi. Hampir semua kecamatan mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat.
Sayangnya, desa wisata yang berkembang belum memiliki ciri khas masing-masing. Pengembangannya cenderung meniru alias copy paste dari desa wisata yang telah berkembang. Seperti halnya, penyediaan ATV, paket outbound, dan pengembangkan pariwisata spiritual, seperti menyediakan tempat pelukatan (pembersihan diri)
Kondisi tersebut, diakui Kepala Bidang Daya Tarik Wisata (DTW) Ida Ayu Anggreni Puja bersama Kepala Bidang Industri Pariwisata Ngakan Putu Tri Iriawan, dalam jumpa media pembangunan yang digelar Humas Badung, Rabu (21/2). Ida Ayu Anggreni, mengakui diversifikasi objek maupun atraksi wisata sangat diperlukan untuk menciptakan keberagaman, sehingga wisatawan yang berkunjung tidak merasa bosan. “Tanpa diversifikasi, wisatawan akan bosan dan tak mungkin mau datang lagi ke Bali,” ucapnya.
Karena itu, dia sepakat, objek dan daya tarik wisata harus didiversifikasi, sehingga repeater guest tetap ingin berkunjung ke Badung. “Apalagi, pengembangan desa wisata di Badung untuk memenuhi harapan wisatawan yang datang,” ujarnya.
Ngakan Iriawan mengatakan, desa wisata harus memiliki potensi dan keunikan yang berbeda. Misalnya, potensi outbound seperti flying fox, trecking, serta fasilitas wisata unik lainnya. Sementara desa lainnya bisa mengembangkan agrowisata seperti kopi, cengkeh, atau produk holtikultura.
Hal ini juga dilakukan karena ada kesan latah di kalangan pengelola desa wisata. Satu mengembangkan potensi tertentu, desa yang lain ikut-ikutan. Penetapan desa wisata harus berdasarkan potensi dan kekhasan masing-masing. “Jika itu terwujud antara satu desa wisata dengan yang lainnya, tidak akan saling menjatuhkan. Wisatawan malah belum merasa lengkap jika tidak mengunjungi semua desa wisata. Hal ini jelas karena tiap desa wisata memiliki objek serta atraksi wisata yang berbeda,” jelasnya.
Selain potensi, desa wisata harus dilengkapi dengan fasilitas pendukung yang berskala internasional, salah satunya kamar kecil. Fasilitas ini begitu penting, sehingga harus ada di setiap desa wisata. Penyedian home stay sebagai tempat beristirahat bagi kalangan wisatawan juga diperlukan. “Homestay juga berpeluang menjadi sarana akomodasi atau menginap kalangan wisatawan. Fasilitas makan dan minum berupa restoran juga harus ada, sehingga keinginan belanja mereka kian tinggi dan ini tentu memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat,” katanya.
Disebutkan, proses untuk menjadi desa wisata diawali proses pengajuan oleh pihak desa. Selanjutnya ada proses verifikasi oleh tim independen yang melibatkan Universitas Udayana. Salah satu yang harus dipenuhi ada keunikan dan kekhasan di desa tersebut. “Ini tentu saja bisa dikembangkan dan dijual untuk konsumsi pariwisata. Karena itu, penunjukan sebagai desa wisata benar-benar objektif karena memang layak menjadi desa wisata,” tegasnya.
Dia berpendapat, jika satu desa wisata dengan desa wisata lainnya memiliki objek dan atraksi wisata yang sama akan menimbulkan persaingan tidak sehat antardesa wisata. “Bukan menambah objek wisata, yang terjadi justru perang tarif antardesa wisata dan ini tak boleh terjadi,” ucapnya.
Setelah pengelola, pengembangan desa wisata masih perlu menggandeng pihak-pihak eksternal untuk mempromosikannya. Karena itu, Pemkab Badung menggandeng sejumlah asosiasi seperti Asita, HPI, PHRI, Bali Villa Assosiation (BVA) dan asosiasi lainnya untuk mempromosikannya. “Dengan pengembangan desa wisata ini, kami berharap lama tinggal wisatawan bisa 5-7 hari,” pungkasnya. (Parwata/balipost)