AMLAPURA, BALIPOST.com – Sudah bertahun-tahun keberadaan nelayan terpinggirkan. Tidak ada perhatian yang jelas dalam menyejahterakan nelayan. Rupanya, kendala utamanya adalah regulasi. Setelah sempat tercetus begitu lama, kini akhirnya nelayan punya regulasi yang khusus untuk bisa menuntut hak yang sama, layaknya bantuan untuk desa pakraman atau subak dan subak abian di Bali.
Sebelum mengenal istilah nelayan, masyarakat pesisir Bali lebih akrab dengan istilah bendega. Istilah ini merupakan penamaan untuk lembaga tradisional di bidang kelautan dan perikanan pada masyarakat adat di Bali, khususnya di wilayah pesisir.
Lembaga ini dulu bersifat ekonomi, sosial, budaya dan religius yang secara historis terus tumbuh dan berkembang sesuai budaya dan kearifan lokal masyarakat Bali. “Sewaktu saya menjadi kepala dinas tahun 1984, ide ini sudah tercetus. Tetapi, saya baru bisa wujudkan di Badung tahun 1994, waktu menjadi Kepala Dinas Perikanan Badung. Setelah berjuang cukup lama, akhirnya sejak tahun 2017, kita punya Perda untuk tingkat Provinsi Bali,” kata Ketua HNSI (Himpinan Nelayan Seluruh Indonesia) Bali, Ir. I Nengah Manumudhita, M.M., saat mensosialisasikan isi Perda Nomor 11 Tahun 2017 tentang Bendega di Gedung UKM Center, Kamis (22/2).
Manumudhita menegaskan, dengan adanya perda ini, maka posisi bendega nantinya bisa sejajar dengan subak. Karena keberadaan bendega mulai mendapat pengakuan pemerintah daerah. Bukan hanya soal hak dan kewajiban, tetapi juga bagaimana masyarakat pesisir mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal.
Dengan adanya perda ini, maka kemampuan nelayan di Bali untuk memperjuangkan hak-haknya juga akan semakin besar. Persoalan besar para nelayan, adalah semakin sulitnya memperoleh lahan untuk sekadar parkir jukung. Selain itu juga ancaman dari investor yang selalu mengincar garis-garis pantai yang indah. “Perda ini akan menjadi acuan untuk mengkomunikasikan berbagai kebijakan yang menyangkut bendega. Sekalipun itu saar berhadapan dengan kepentingan investor,” katanya.
Setelah terbentuknya Perda tentang Bendega ini, selanjutnya DPD HNSI Bali sedang menunggu turunnya Pergub Bali. Selain itu, dengan terbentuknya Perda ini, maka DPD HNSI Bali menginstruksikan kepada seluruh DPC HNSI di Kabupaten, untuk mendorong masing-masing pemerintah daerah menyusun perda tentang bendega di tingkat kabupaten. “Nanti secara detail wilayah, akan diatur di dalam perda kabupaten. Ini sudah ditunggu-tunggu oleh 40 ribu nelayan di Bali,” tegasnya.
Kepala Dinas Perikanan I Ketut Artama, mengaku sangat menyambut baik lahirnya perda tentang Bendega ini. Pihaknya menegaskan akan segera berkoordinasi untuk menyiapkan draf, kemudian mengajukan ke Bagian Hukum, sebelum nantinya diajukan ke DPRD Karangasem untuk dibahas sebelum perdanya benar-benar disahkan.
Menurutnya, perda ini manfaatnya sangat strategis. Ini akan menata kehidupan bendega, mengembalikan nilai-nilai luhur masyarakat pesisir, dalam konsep Tri Hita Karana. “Kehidupan di pesisir, bukan sekadar menangkap ikan. Di sana ada Pura Segara dan potensi lainnya. Jadi, menata kehidupan bendega, maka akan mencangkup aspek ekonomi, budaya, sosial dan kehidupan religius masyarakatnya. Ini akan berdampak baik bagi 5.300 nelayan yang ada di Karangasem,” tegas Artama.
Rencana jangka panjang HNSI Bali adalah, selain mendorong hak para nelayan, juga bagaimana membuat kehidupan masyarakat pesisir ini lebih kuat. Setiap kelompok bendega nanti, akan menyusun masing-masing awig, untuk mengatur kerja bendega. Selain itu, untuk memperkuat secara ekonomi juga direncanakan membentuk Koperasi Bendega sebagai wujud program KUB (Kelompok Usaha Bersama).
Jika semua itu terwujud, tinggal bagaimana memordernisasi cara kerja bendega hingga mendorong agar hasil kerja mereka terserap maksimal oleh pasar. “Kita harua optimis, sebagai anak laut, kita kuat dan akan maju ke depan,” tegas Manumudhita. (Bagiarta/balipost)