Ilustrasi. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kisruh dalam tataniaga beras tidak terlepas dari validnya data yang digunakan. Terutama produksi beras atau padi di Indonesia.

Dengan data yang valid bisa dijadikan acuan untuk mengambil kebijakan. Oleh karena itu, BPS sebagai lembaga resmi statistika, didorong untuk segera merilis angka produksi beras/gabah di Indonesia.

Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) RI Dr. Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan, persoalan yang terus didiskusikan dalam beberapa tahun terakhir adalah data ketersediaan atau produksi dari beras. “Kementerian Pertanian mempunyai data sendiri. Begitu juga BPS memiliki data sendiri,” ungkapnya.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), produksi padi diperkirakan 81 juta ton. Jika dikonversikan ke beras menjadi 41 juta ton. Namun, BPS memiliki data produksi yang berbeda.

Baca juga:  Penyu Hijau Makin Rajin Bertelur di Pantai Candidasa

US Department of Agriculture (USDA) juga mengeluarkan data terkait produksi beras di Indonesia. USDA mengatakan perhitungan produksi beras dari Kementan dan BPS mengalami over estimasi. Karena data USDA mencatat produksi beras Indonesia hanya 37 juta ton.

Konsumsi beras masyarakat Indonesia setiap tahun 30 juta ton. Itu berarti, Indonesia surplus beras 10-11 juta ton. Meski data berbeda-beda, namun Indonesia tetap surplus beras.

Anehnya, surplus beras tidak membuat harga beras turun. “Jika surplus, kenapa harga naik? Seolah-olah harga naik karena produksi kita yang tidak cukup,” tandasnya.

Baca juga:  Kelompok Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan Sumbang Inflasi Tertinggi

Ia menduga, sistem tata niaga yang terlampau panjang menjadi penyebab harga beras tidak seketika turun. Ada rantai panjang yang harus dilalui. Yaitu dari petani ke pengepul, penggilingan kecil, penggilingan besar, distributor besar yang memberi merk pada beras, retailer baru ke end user. Sehingga ada 5-6 titik yang harus dilalui.

Jika setiap titik ada margin, sehingga ketika sampai di end user, harga beras menjadi tinggi. Hal ini tidak menguntungkan petani sebagai produsen dan konsumen yang menerima harga tinggi.

Selain rantai panjang perjalanan beras sampai ke konsumen, juga diduga karena teknologi pengolahan beras yang minim. Padi yang dipanen sebelum digiling harus dikeringkan. Saat ini masih banyak pengeringan gabah yang menggunakan cara konvensional dengan lantai jemur.

Baca juga:  Budidaya Kambing Makin Menjanjikan, Kelompok Karya Tani di Penglatan Kembangkan Boer dan Etawa

Padahal saat ini telah ada mesin pengering gabah yang tidak bergantung cuaca. Ini membuat proses pengolahan beras menjadi panjang. Sehingga produksi padi yang mulai meningkat tidak serta merta turun, namun tergantung waktu pengolahan beras ini.

Dugaan ketiga adalah, adanya oknum yang sengaja mengurangi pasokan sehingga membuat harga tertahan di angka yang relatif tinggi. Maka dari itu ia meminta BPS untuk mempublikasikan data produk beras yang resmi agar bisa menjadi patokan data. Data valid, tidak rancu membuat pengambilan keputusan tepat. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *