JAKARTA, BALIPOST.com – KPU melarang partai politik memasang nama atau wajah tokoh-tokoh mantan Presiden dan Wakil Presiden yang bukan pengurus parpol dalam alat peraga kampanye Pilkada Serentak 2018 seperti baliho dan spanduk. Politisi parpol merasa keberatan dengan aturan tersebut.
“Menurut saya terlalu berlebihan, tidak harus mengatur sampai sedetail itu. Kecuali kalau tokoh atau simbol itu dilarang, merupakan orang terlarang, partai terlarang, simbol terlarang, tidak boleh dipajang. Okelah itu diatur,” kata anggota DPR RI Andreas Pareira di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/2).
Penegasan disampaikan Andreas menyikapi larangan penggunaan gambar presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Kampanye Pemilihan Kepala Daerah meliputi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Dalam aturan tersebut, gambar mantan presiden atau wakil presiden yang merupakan pengurus parpol diperbolehkan. Sementara gambar mantan presiden atau wakil presiden yang bukan pengurus parpol dilarang.
Andreas yang juga Ketua DPP PDI Perjuangan mencontoh, sudah menjadi kebiasaan sejak dulu partainya memasang wajah Presiden RI pertama Soekarno (Bung Karno) dalam alat peraga kampanye. Padahal, gambar atau foto Soekarno merupakan milik semua rakyat Indonesia.
“Sehingga menurut saya aturan ini berlebihan mengatur sedetail itu, melarang tokoh nasional seperti Bung Karno untuk tidak boleh dipajang, sementara kita tahu Bung Karno ini milik bangsa ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia memastikan bukan hanya PDIP yang merasa terganggu tetapi kelompok lain yang mengagumi dan memiliki ikatan emosional dengan sosok dan nilai historis Bung Karno juga tidak bisa menerima peraturan KPU tersebut.
Hal lain yang juga dipersoalkan adalah alasan ini tidak mendasar dan justru bertolak belakang dengan upaya pendidikan politik dan demokrasi generasi muda. Karena para pemimpin bangsa seperti Soekarno, BJ. Habibie menurutnya baik untuk penguatan nasional di kalangan generasi.
“Kalau misal kita lihat anak-anak muda pasang fotonya Che Guevara (pemimpin revolusi di Kuba), jauh lebih relevan memasang fotonya Bung Karno di situ ketimbang memasang fotonya Che Guavara atau fotonya Madonna (artis dunia) di situ,” kritiknya.
Di tempat sama, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf meminta KPU mempertimbangkan kembali pemberlakukan larangan itu sebelum melakukan sosialisasi dan menangkap aspirasi masyarakat luas tentang setuju atau tidak setuju dengan pemberlakuan aturan ini. “Apakah masyarakat keberatan atau tidak. Kalau warga tidak keberatan, tidak masalah,” kata Nurhayati.
Selain itu, KPU juga diminta memberikan penjelasan rasional soal aturan ini. Apalagi, KPU merupakan lembaga negara yang diberi kewenangan menyelenggarakan pemilu tentu memiliki kajian sebelum merumuskan sebuah aturan.
Sebelumnya, Ketua KPU Arief Budiman menyatakan, para tokoh yang dilarang itu bukanlah pengurus partai politik. Larangan ini juga berlaku untuk alat peraga kampanye. Namun, bila untuk acara kepentingan internal parpol yang bukan dinilai kampanye, pemasangan gambar mantan presiden dan wakil presiden yang bukan pengurus partai tidak menjadi persoalan. (Hardianto/balipost)