MANGUPURA, BALIPOST.com – Demam berdarah dengue (DBD) yang ditularkan melalui nyamuk aedes aegypti, mengancam lebih dari seperempat penduduk bumi atau 2.5 miliar orang. ASEAN memiliki jumlah angka kasus infeksi dengue tertinggi di dunia, dari data WHO 2015.

Tercatat setiap tahun terdapat sekitar 390 juta orang terinfeksi virus dengue. Dari jumlah tersebut, 22.000 diantaranya, khususnya anak-anak dan remaja meninggal dunia.

Selama ini untuk mengatasi DBD, pemerintah melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), fogging hingga obat nyamuk. Namun belum bisa mengatasi masalah DBD.

Baca juga:  Barang Dagangan Milik Pedagang di Lantai I dan II Pasar Tematik Ubud Direlokasi

Kini, penelitian Eliminate Dengue Project (EDP) sedang dikembangkan. Prof Adi Utarini M Sc MPH Ph.D peneliti utama EDP didampingi Dr Peter Ryan, peneliti bakteri Wolbachia dari Monash University, mengatakan penelitian ini menggunakan bakteri alami wolbachia pada serangga.

Bakteri alami ini biasanya dimiliki oleh 70 persen serangga. Namun bakteri ini tidak ada pada tubuh nyamuk aedes aegypti.

Langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah, bakteri dari serangga yang memiliki wolbachia seperti lalat buah, capung, dan kumbang dimasukan ke dalam telur nyamuk aedes aegypyti. Setelah telur berkembang menjadi nyamuk dewasa, kemudian dilepas untuk dikawinkan dengan nyamuk liar lainnya.

Baca juga:  Kebijakan Pariwisata Murahan Datangkan Wisman Bermasalah

Bakteri wolbachia cara kerjanya adalah menghambat perkembangan virus DBD yang ada pada tubuh nyamuk aedes aegypti. “Jadi kalau nyamuknya menggigit manusia, virusnya tak ikut masuk ke dalam tubuh manusia. Virus DBD tak bisa keluar dari dalam sel nyamuk aedes aegypti tersebut karena ada wolbachia-nya. Dari hasil penelitian juga dinyatakan bakteri wolbachia aman bagi tubuh manusia,” tuturnya, Sabtu (3/3).

Teknologi ini sebenarnya pertama kali ditemukan di Australia pada 2011, yakni di Monash University. Mulai tahun 2014, teknologi ini sudah diterapkan di wilayah kecil dan tahun 2016 teknologi ini diterapkan di Jogjakarta.

Baca juga:  Hingga Agustus 2023, Kasus DBD di Denpasar Capai 1.278

Di negara lain teknologi ini sudah mulai digunakan. Misalnya Brazil, Kolombia, dan Australia yang kasus DBD tertinggi di dunia. “Kami tertarik untuk mengembangkannya karena terbukti pada negara lain seperti Brazil dan Kolombia dan Australia bisa menekan kasus DBD,” ujarnya. (Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *