SINGARAJA, BALIPOST.com – Sejumlah tokoh masyarakat di Desa Pakraman Banyuning, Buleleng mendatangi DPRD Bali, Kamis (8/3). Mereka membawa surat pernyataan dari 28 dadia di desa pakraman tersebut, yang menginginkan pemilihan klian desa pakraman ditunda.
Para penglingsir dan tetua disana ingin kembali ke awig-awig, agar Banyuning dipimpin oleh bendesa saja. “Di Banyuning itu ada dualisme kepemimpinan. Ada kepemimpinan bendesa dan klian desa pakraman. Dari sinilah munculnya konflik di Banyuning, mestinya kan satu saja pemimpin,” ujar Tokoh Adat Banyuning, Ketut Wenten.
Hadir pula Jero Mangku Bhujangga Waisnawa (Ulun Desa/Banjar), Ketut Winaca (Klian Banjar Adat Banyuning Timur), dan Putu Naya (Sekretaris Banjar Pakraman Banyuning Timur).
Menurut Wenten, dualisme kepemimpinan sudah berlangsung sekitar 12 tahun. Sesuai tradisi, bendesa dipilih berdasarkan keturunan. Sementara klian desa pakraman dipilih dengan mekanisme demokrasi modern.
Setelah diobservasi 5 tahun terakhir, dualisme itu dirasa sudah tidak sehat lagi dan malah membuat suasana menjadi tidak kondusif. Masyarakat utamanya dibuat tidak nyaman saat melaksanakan upacara. “Mumpung kepemimpinan klian desa pakraman sudah berakhir, kami para penglingsir, tetua di Banyuning, ingin kembali saja ke awig-awig, tradisi adat. Sudah terbukti dulu pada saat masih memakai sistem tradisi, ada bendesa dan penyarikan yang memimpin desa kami, bagus sekali, aman-aman sekali, upacara jalan dengan teratur,” paparnya.
Wenten menambahkan, munculnya klian desa pakraman sekitar 12 tahun lalu berawal saat penyarikan setempat meninggal. Kebetulan ada Pergub yang menyarankan jabatan tersebut.
Namun, Pergub juga mencantumkan supaya sistem pemerintahan yang sudah ada dipertahankan. Bukannya mempertahankan atau mengganti istilah bendesa menjadi klian, justru muncul dualisme. “Proses pemilihan kali ini juga aneh, dilakukan tanggal 10 dan 11 Maret ini. Jadi, ada dua kali,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta menilai pijakan berfikir tokoh-tokoh masyarakat Banyuning itu sudah benar. Yakni, menegakkan awig-awig terkait bendesa yang dipilih berdasarkan keturunan. Keberadaan klian desa pakraman disamping bendesa justru membuat rancu dan menimbulkan tumpang tindih. “Satu, ingin mempertahankan tradisi (bendesa, red). Satunya lagi ingin membawa mekanisme demokrasi modern (klian desa pakraman, red). Kan tidak ketemu. Kalau dari kami, kami berharap karena memang Bali ini unik, agar mempertahankan tradisi,” ujar Politisi PDIP yang menerima tokoh masyarakat bersama Anggota DPRD Bali Dapil Buleleng, Dewa Mahayadnya dan I Kadek Setiawan ini. (Rindra Devita/balipost)