Suasana di Bandara Ngurah Rai. (BP/dok)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Pembagunan bandar udara (bandara) alternatif selain Bandara I Gusti Ngurah Rai sangat mendesak dibangun. Karena lalu lintas penerbangan di Bandara I Gusti Ngurah Rai sudah sangat padat.

Selain itu, Bali perlu jalur evakuasi lain jika terjadi bencana alam yang terpaksa menutup Bandara I Gusti Ngurah Rai. Begitu juga kalangan pariwisata sangat membutuhkan adanya bandara alternatif ini.

Wakil Ketua DPP Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) I Made Ramia Adnyana mengatakan, kalangan pariwisata sangat membutuhkan adanya bandara alternatif di Bali selain Bandara Ngurah Rai. “Karena jika dengan jembatan roro, maka hub-nya bukan di sini (Bali, red),” katanya, Jumat (9/3).

Baca juga:  Dari Pertumbuhan Penumpang Bandara Ngurah Rai Hampir 100 Persen hingga Batam Persiapkan Diri Jadi Tuan Rumah

Bandara kedua harus dipersiapkan untuk membuat perencanaan mitigasi bencana. Jika seandainya ada bencana, seperti gunung meletus yang belum lama ini dialami Bali, adanya bandara kedua akan mempermudah proses evakuasi.

Dengan adanya bandara kedua, akses menuju dan dari Bali juga akan semakin mudah. Sehingga target kunjungan wisatawan 7 juta ke Bali bisa tercapai. Selain itu target kunjungan 20 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia juga bisa tercapai, dengan Bali sebagai hubnya. Dengan begitu, pemerataan pembangunan pariwisata akan lebih cepat.

Menurutnya rencana pembagunan bandara ini sudah sanga lama. Sehingga sangat mendesak dilakukan. “Kalau sudah diputuskan penetapan lokasinya, realisasinya baru bisa 5-10 tahun lagi. Karena perlu proses pembangunannya. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi,” ujar Ramia.

Baca juga:  Mendaki Ijen, Wisatawan Dimanjakan Pakai Troli

Dunia akan melihat bahwa di Bali ada dua alternatif bandara. Sehingga dari sisi konsumen juga akan lebih menguntungkan. “Karena seperti Singapura sudah ada 4 bandara. Bali memerlukan paling tidak dua. Jika Ngurah Rai ditutup, kan kita sudah tahu sendiri dampaknya seperti apa, exitnya juga susah. Coba kalau ada dua,” sebutnya.

Polemik penetapan lokasi (penlok) bandara antara di darat dan di laut juga masih terjadi. Kalangan pariwisata hanya ingin bandara yang lebih aman untuk penumpang.

Baca juga:  Dari Pergerakan Sektor Penerbangan Meningkat hingga Soal Varian Omicron

Selain itu, dengan kondisi lahan di Bali yang sempit, ia lebih cenderung dengan pembangunan bandara di tengah laut. “Karena ini sudah dilakukan di beberapa negara. Seperti di Shanghai, Korea yang membangun di laut. Dengan catatan dikaji secara mendalam terkait aspek lingkungan dan sebagainya. Sehingga tidak merusak alam. Ini juga sudah lazim dilakukan di beberapa negara karena lebih aman kalau landing dari perspektif penerbangan,” tandasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *