BANGLI, BALIPOST.com – Angka kasus bunuh diri dengan cara gantung diri di Kabupaten Bangli tergolong cukup tinggi. Berdasarkan data Polres Bangli, sejak awal 2018 hingga saat ini tercatat sudah 14 nyawa melayang karena kasus gantung diri.
Untuk menekan maraknya kasus bunuh diri di Bangli, Akademisi Unud asal Puri Bangli Prof. A.A. Muninjaya berpendapat peran serta semua pihak sangat dibutuhkan. Keberadaan puskesmas sebagai pelayanan kesehatan masyarakat terbawah perlu dioptimalkan. Dengan melengkapi tenaga terlatih di bidang kesehatan jiwa sehingga dapat memberikan layanan konseling ke masyarakat.
Diwawancara Minggu (11/3), Muninjaya mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi pemicu kasus bunuh diri selama ini diantaranya psikologis, ekonomi dan sosial. Secara psikologis, seseorang bisa nekat mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena mengalami depresi berat akibat trauma maupun konflik pribadi.
Kasus bunuh diri selama ini juga ada yang dipicu karena masalah tekanan ekonomi. Seseorang yang mengalami frustasi karena tidak mampu mengatasi masalah tekanan ekonomi tak jarang memilih jalan pintas dengan cara bunuh diri.
Menurut Muninjaya, untuk menekan terjadinya kasus bunuh diri di masyarakat, diperlukan peran serta seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Upaya pencegahan perlu ditangani lintas disiplin baik lembaga kesehatan, ekonomi maupun sosial.
Muninjaya mengatakan, untuk menekan kasus bunuh diri di masyarakat keberadaan lembaga kesehatan jiwa masyarakat yang selama ini sudah ada di Provinsi perlu diaktifkan kembali. “Sudah ada, tapi kita tidak pernah dengar kiprahnya secara preventif,” ujarnya.
Selain itu, untuk menekan kasus bunuh diri, diperlukan integrasi pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas. Keberadaan puskesmas sebagai pelayanan kesehatan masyarakat terbawah menurutnya perlu dilengkapi tenaga terlatih di bidang kesehatan jiwa untuk memberikan layanan konseling ke masyarakat.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Unud ini mengatakan dahulu hal tersebut sudah pernah ada, hanya saja tidak berlanjut. “Dulu itu hanya jadi pilot projek. Padahal itu bagus dengan perkembangan kehidupan masyarakat sekarang, puskesmas harus dilengkapi petugas yang terlatif di bidang kesehatan jiwa. Itu kedepan perlu diisi terutama di daerah-daerah yang potensi masalah kesehatan jiwanya tinggi,” kata Muninjaya.
Akademisi Undiksa Prof. Wayan Lasmawan mengatakan ada beberapa faktor seseorang nekat melakukan bunuh diri, diantaranya karena depresi, impulsif (tindakan atau melakukan sesuatu berdasarkan dorongan hati), masalah sosial, filosofi tentang kematian dan sakit mental. “Di samping faktor umum tersebut, ada beberapa faktor yang mesti diwaspadai untuk tidak menambah sejarah panjang perilaku bunuh diri, seperti pengalaman buruk. Dimana trauma yang terjadi pada masa kecil dapat terkonsep pada alam bawah sadar kita, sehingga ada kesulitan untuk keluar dari ketakutan tersebut yang pada akhirnya mereka akan cenderung memilih jalan pintas seperti bunuh diri. Faktor keturunan juga bisa menyebabkan seseorang melakukan bunuh diri,” jelasnya.
Menurut Lasmawan, solusi yang bisa dilakukan untuk menekan angka bunuh diri adalah dengan memangkas jurang pemisah secara ekonomis di kalangan masyarakat, meningkatkan penyuluhan tentang pentingnya hidup sehat dan menggunakan jasa profesional bila mengalami masalah serta meningkatkan komunikasi yang berkualitas dalam kehidupan keluarga. (Dayu Swasrina/balipost)