OJK menerangkan tentang rencana pembuatan regulasi Fintech. (BP/dok)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Kebijakan terkait financial tecnology (fintech) ditargetkan rampung pada semester I 2018 mengingat perkembangannya sangat pesat. Saat ini telah ada 36 perusahaan fintech yang terdaftar dan 1 diantaranya telah berijin. Sedangkan perusahaan yang sedang dalam proses pendaftaran ada 42.

Wakil Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida mengatakan, perkembangan fintech di Indonesia signifikan dan sangat cepat. Oleh karena itu OJK sedang membangun suatu ketentuan/peraturan yang bisa mengatur ekosistem fintech.

Peraturan itu ditargetkan rampung pada semester I tahun 2018. Namun ia optimis triwulan I bisa selesai.

Sebelum merampungkan regulasinya, OJK ingin mendapatkan masukan dari berbagai negara dalam mengatur fintech tersebut. Karena secara global ketentuan mengenai fintech beragam. “Ada negara yang mengadopsi sistem prudential approach, tapi ada juga yang mengadopsi ke arah bagaimana mengatur transparansi,” bebernya saat press conference International Seminar on Fintech Policies and Regulation, Senin (12/3).

Baca juga:  Anak Didik Mulai Bosan Belajar Daring, Guru Diminta Kreatif Sajikan Materi

Dengan melihat berbagai sistem pengaturan di berbagai negara, OJK memutuskan mengatur dengan pendekatan karakteristik fintech tersebut dan dengan mengutamakan transparansi. Diharapkan dengan begitu fintech bisa memberikan keterbukaan yang berguna baik bagi pihak lender maupun borrower.

Yang menjadi perhatian dalam pengawasan fintech adalah perlindungan consumer. Perlindungan consumer ada dua yaitu kepentingan dan data consumer. “Hal inilah yang menjadi poin-poin kita nanti dalam mengatur fintech,” ungkapnya.

Baca juga:  Era Baru, OJK Tidak Berikan Panduan Khusus

Komisioner OJK, Sukarela Batunanggar menjelaskan pengaturan fintech meskipun spiritnya sama dengan LJK incumbent seperti bank, tapi dalam pendekatannya disesuaikan dengan model bisnis dan karakteristik fintech tersebut. Risiko bank terdapat pada lembaga keuangannya dan dari sisi penggunanya. Sementara risiko fintech ada di antara peer to peer karena sebagai platform.

Maka dengan adanya transparansi, edukasi dan literasi keuangan, selfgovernance yang market discipline dari industri itu diharapkan risiko tersebut bisa diperkecil. “Kita ingin membangun sikap yang bertanggung jawab dari sisi industrinya, dan si pengguna sehingga tercipta suatu kepercayaan,” ungkapnya.

Baca juga:  Kerugian Akibat Investasi Ilegal Mencapai Rp 603,9 Miliar

Mengingat perkembangan fintech sangat cepat, maka yang diatur adalah aturan dasarnya. OJK hanya menetapkan kebijakannya. Seperti pemenuhan standar minimal suatu fintech, Seluruh fintech harus mendaftar ke OJK. Karena tidak semua fintech masuk dalam kategori LJK (lembaga jasa keuangan). Yang diatur juga adalah tata kelola, lembaga dan produknya, standar pelaporan, edukasi dan perlindungan konsumen. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *