Sekeha memainkan instrumen Jegog. (BP/dok)

NEGARA, BALIPOST.com – Seni Jegog tidak bisa terlepas dari Jembrana. Alat musik tradisional dari bambu yang muncul dan berkembang pada masa penjajahan ini seolah mencerminkan gejolak dan gelora masyarakat di masa itu.

Bentuk gambelan dengan ukuran di luar pakem (besar), gagah, berkarakter dan suara yang menggelegar seolah menunjukkan perlawanan dan persaingan. Pascakejayaan pada tahun 90-an, kini hampir tiap desa di Jembrana memiliki sekeha-sekeha Jegog.

Dari data di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jembrana, pada 2012 sedikitnya ada 100 sekeha Jegog di Jembrana. Tetapi dari jumlah itu, hanya 76 sekeha jegog yang masih aktif. Artinya mereka masih bisa bertahan hidup dari pentas ke pentas. “Jegog ini sifatnya lebih ke komersil, tidak seperti kesenian lain yang ditunjang bersama dalam satu desa seperti gong kebyar misalnya. Sekeha ini hidup dari pentas dan mendapat bayaran. Kalau tidak ada pentas, mereka tak ada biaya dan lambat laun mati,” tandas Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jembrana, I Putu N. Sutardi.

Baca juga:  Sejumlah Negara Kembali Terapkan Karantina, WHO Minta Lebih Agresif Tangani COVID-19

Pemerintah Kabupaten Jembrana memberikan perhatian penuh untuk mempertahankan seni khas Jembrana ini. Seperti dengan memberi peluang pentas dan mengikutsertakan sekeha dalam berbagai even di Jembrana, hingga bantuan uang untuk membeli bambu.

Diakui memang ada beberapa sekeha yang terpuruk bahkan mati karena sepi pentas. Walaupun ada pentas, sejatinya bayaran mereka jauh dari apa yang mereka pentaskan. Dengan peralatan yang cukup besar dan relatif susah diangkut, belum lagi saat mebarung (beradu), gambelan dari bambu itu sangat riskan pecah dan rusak.

Untuk biaya kerusakan hingga mengganti bambu, sangat tinggi. Tetapi para sekeha ini memainkan Jegog lebih banyak atas dasar kesenangan. Dan hingga saat inipun antusias masyarakat pada kesenian ini masih cukup besar.

Gambelan yang terbuat dari bambu ini memiliki karakter suara yang khas dan dapat beradaptasi dengan musik apapun. Dari sejumlah literatur, asal mula Jegog ini muncul sekitar tahun 1912 di dusun Sebual, Desa Dangin Tukadaya, oleh Kiang Geliduh.

Awalnya alat musik ini sarana untuk memanggil masyarakat berkumpul dan bergotong royong. Lambat laun, Jegog bergeser menjadi perangkat gambelan. Dan hingga kini menjadi instrumen untuk seni pertunjukan dan hiburan.

Baca juga:  Rekor Terdakwa LPD Ungasan Tumbang, Mantan Ketua LPD Anturan Dituntut Lebih Tinggi

Dari masa ke masa, Jegog mengalami perkembangan. Dari mulai muncul di tahun 1920-an hingga 1940 dengan pakem-pakem lama. Pada masa 1960-an Jegog juga menjadi corong kampanye politik saat itu. Baru pada era 1980-an mengalami perkembangan tabuh mengikuti gending-gending seperti gong kebyar atau pendet. Sedangkan di era tahun 1990-an muncul kreasi dengan sentuhan kreatif reportoar serta tarian dan berlanjut hingga saat ini Jegog dikolaborasikan dengan musik lain seperti world music dan jazz.

Dari masa ke masa Jegog mengalami perubahan menyesuaikan diri dengan zaman. Tanpa menghilangkan sesuatu yang fundamental yakni nilai tradisi.

Kesenian Jembrana ini bahkan pernah didaulat untuk tampil mengisi acara pembukaan ajang sepak bola sejagat, Piala Dunia (world cup) tahun 1998 di Prancis. Adalah Yayasan Suar Agung dibawah pimpinan I Ketut Suwentra atau Pekak Jegog yang memperkenalkan gambelan ini ke dunia. Baik di Benua Asia maupun Eropa hingga akhirnya ikut tampil menghibur dalam even bergengsi sepakbola, World Cup di Prancis.

Baca juga:  Indonesia Timur Jadi Pintu Gerbang Perdagangan Ikan ke Asia Timur

Jegog sebagai alat musik dengan karakter suara dan fisik gambelan tidak hanya memikat para seniman tua. Secara berkelanjutan pembinaan pada kesenian Jegog terus digulirkan hingga ke kalangan muda mengikuti zaman.

Untuk tetap melanjutkan generasi, hampir di setiap sekolah khususnya sekolah lanjutan seperti SMP, SMA dan SMK di Jembrana memiliki gambelan Jegog. Bahkan di beberapa sekolah memberikan porsi khusus untuk siswa menggeluti seni tabuh ini.

Seperti yang dilakukan SMP 4 Mendoyo dan SMA N 2 Negara. Para siswa yang masih tergolong anak baru gede ini sudah lihai memainkan Jegog gambelan sekolah. Mereka juga sudah kenyang pentas di sejumlah acara, baik di dalam maupun di luar Kabupaten.

Jegog dikreasikan dengan instrumen gambelan lainnya. Selain itu di sejumlah sanggar kesenian juga tak jarang mengikutsertakan remaja untuk memainkan instrumen dari bambu ini. (Surya Dharma/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *