MANGUPURA, BALIPOST.com – Puluhan tahun tak digelar, permainan “Siat Yeh” kembali digelar pada Ngembak Gni, Minggu (18/3). Warga Banjar Teba, Desa Jimbaran, nampak menyemut untuk mengikuti prosesi yang bertujuan untuk pembersihan diri ini.
Prosesi siat yeh diawali dengan mendak tirta ke dua arah yaitu ke Barat menuju pantai dan ke Timur menuju ke rawa-rawa. Awalnya muda-mudi banjar Teba sebagian ke timur dan sebagian ke barat untuk mendak tirta. Kemudian, tirta dari masing-masing tempat tersebut disatukan di depan banjar dan digunakan untuk siat yeh.
Menurut Anak Agung Bagus Cahya Dwijanata selaku Ketua Panitia siat yeh, permainan ini kembali dibangkitkan setelah lama dilupakan. Dikatakan, permainan ini kembali dimunculkan karena memang awalnya kondisi geografis dari Banjar Teba yang diapit oleh pantai sisi barat dan timur.
Selain itu, dari cerita para pengelingsir, dahulu pada saat hari raya Nyepi, saat ngembaknya selalu diadakan permainan-permainan air seperti yang dilakukan saat ini. “Awalnya, pada ngembak hari raya Nyepi, sebagian masyarakat banjar Teba ada yang ke timur (ke rawa-rawa) ada yang ke barat (pantai) untuk bermain air, pasir, dan buug atau lumpur,” ujarnya.
Sebagai bentuk pelestarian, permainan ini, akhirnya dimunculkan kembali dengan konsep yang baru. Permainan seperti ini, menurutnya terakhir kali dilakukan kurang lebih sekitar tahun 80an. “Harapan kami dengan dilaksanakannya tradisi ini, sekaa teruna Bhakti Asih krama banjar teba dapat menyatukan diri untuk mencapai tujuan, cita-cita serta meningkatkan persaudaraan dan solidaritas kami,” harapnya.
Hal senada juga disampaikan pengelingsir atau tokoh masyarakat Jimbaran, AA. Yusa Arsana Putra. Menurutnya, sekitar tahun 70-an, sejumlah permainan air memang rutin dilakukan saat waktu Ngembak hari raya Nyepi.
Permainan yang dimaksud seperti permainan di pantai dan di kawasan rawa. Dari rutinitas yg pernah dilakukan tersebut, pihaknya ingin membangkitkan kembali melalui konsep yang baru. “Kami ingin mbangkitkan kembali semangat yang dulu pernah dilakukan, agar banjar kami mempunyai tradisi. Air rawa dan air pantai yang dimaksud, dulunya memang menyatu,” pungkasnya. (Yudi Karnaedi/balipost)