DENPASAR, BALIPOST.com – Sidang dugaan korupsi dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Desa Adat Candikuning, Bedugul, Selasa (20/3) sempat alot. Pasalnya disaat JPU I Made Rai Joniarta yang diwakili Jaksa Ida Ayu Sulasmi dan Putu Nuriyanto, sudah siap dengan tuntutan, pihak terdakwa melalui kuasa hukumnya siap untuk mengembalikan kerugian keuangan negara Rp 200 juta.
Karena terjadi perbedaan pendapat, majelis hakim pimpinan Angeliky Handajani Day akhirnya menskors sidang hingga satu jam lebih.
Setelah skors dibuka, jaksa menyatakan tetap akan membacakan tuntutan karena menilai bahwa pengembalian tidak akan mengubah tuntutan jaksa yang sudah ditandatangani.
Dan setelah dipersilahkan oleh majelis hakim, JPU dari Kejari Tabanan itu kemudian membacakan tuntutan dalam perkara dugaan korupsi BKK dengan terdakwa Bandesa Adat Candikuning, I Made Susila Putra, S.Pd.
Bahkan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, tuntutan cukup mencengangkan diberikan jaksa pada terdakwa. Jro Bandesa Made Susila Putra dituntut hukuman pidana penjara selama tujuh tahun, denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan.
JPU Rai Joni diwakili Ida Ayu Sulasmi juga menuntut supaya terdakwa dibebankan mengganti uang sebagai akibat kerugian keuangan negara Rp 200 juta. Dengan ketentuan apabila uang pengganti tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa untuk dilelang.
Jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama tiga tahun enam bulan. Berdasarkan akumulasi itu, jika semua dijalani maka JPU menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 11 tahun.
Masih di depan persidangan, dalam perkara bantuan BKK yang merugikan keuangan negara Rp 200 juta itu, jaksa menyatakan terdakwa Made Susila Putra terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan primer. Yakni melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU No.31 tahun 1999 tentang tipikor, sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang tipikor.
Sebelum pada proses kesimpulan dalam pembacaan tuntutan itu, jaksa menyampaikan sejumlah pertimbangan. Yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Terdakwa tidak mengakui kesalahan dan cendrung berbelit-belit untuk menutupi kesalahannya dan perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara. Sedangkan yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan terdakwa menjadi tulang punggung keluarga.
“Selama persidangan tidak ditemukan adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat menghapuskan perbuatan pidananya. Oleh karena itu, terdakwa mampu bertanggung jawab dan harus dituntut setimpal dengan perbuatannta,” sebut JPU Ida Ayu Sulasmi.
Masih dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar, terdakwa yang selalu mendapatkan suport moral dari warga adatnya itu, dinilai telah menyalahgunakan uang BKK bantuan provinsi tahun 2015. Yakni tidak menyampaikan dana itu ke masyarakat, dan sambung jaksa, tidak dimasukan ke buku kas masuk maupun keluar Desa Adat Candikuning. Melainkan Made Susila memindahkan dana BKK sebesar Rp 200 juta ke rekening pribadinya tanpa sepengetahuan pengurus Desa Adat Candikuning.
Bahkan jaksa menyatakan hingga Oktober 2016 tidak ada menyetor laporan pertanggungjawaban. Inilah yang menjadi kunci dasar jaksa memberikan tuntutan yang setimpal.
Dalam sidang, pihak terdakwa berusaha ingin mengembalikkan dana itu Rp 200 juta. Bahkan hakim menyatakan wajib hukumnya penegak hukum menerima niat pengembalian kerugian keuangan negara itu dari pihak terdakwa.
“Prinsip UU Tipikor itu adalah pengembalian kerugian keuangan negara ke negara. Tidak dalam prinsip penghukuman. Jadi salah kita sebagai penegak hukum jika tidak menerima niat terdakwa mengembalikan kerugian keuangan negara,” tandas ketua majelis hakim Angeliky Day.
Dalam persidangan terungkap, bahwa dana itu digunakan upacara adat setempat. Bahkan terdakwa berniat baik dengan menalangi dana desa adat karena kekurangan dana saat ada upacara agama. Dalam kesaksian beberapa waktu lalu, pihak panitia upakara dan upacara ngenteg linggih diketahui menghabiskan dana sekitar Rp 1,7 miliar. Dana itu tidak bisa ditutup dengan iuran warga atau dana BKK. Sehingga dipinjam dana pihak ketiga. Jaksa sempat menanyakan pada panitia, mengapa menggunakan istilah pihak ketiga, padahal jelas disebutkan yang meminjamkan terdakwa Made Susila Putra. Namun saksi tidak bisa menguraikan secara rinci karena memang bantuan pihak ketiga yang disepakati.
Dana BKK itu juga digunakan biaya ngenteg linggih dan kegiatan lainnya seperti membiayai upakara. Juga terselip di sana bahwa ada sekitar Rp 156 juta digunakan untuk parahyangan, pawongan dan palemahan berdasarkan skala kebutuhan dan paruman krama. (miasa/balipost)