SEMARAPURA, BALIPOST.com – Produksi garam di Pantai Belatung, Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan masih menggunakan cara tradisional. Hal tersebut mampu menarik wisatawan asing dari berbagai negara untuk berkunjung. Ini memberikan berkah untuk petani yang sudah berusia tua.
Hari menginjak siang, petani garam di pantai yang berlokasi di timur Pura Goa Lawah itu mulai sibuk. Meratakan pasir hitam yang terhampar luas. Tak peduli dengan sinar matahari yang semakin menyengat.
Tak lama, mereka mengambil air laut dengan peralatan sederhana. Dua wadah yang sekilas seperti timbangan dipikul. Berjalan terayun-ayun, memperlihatkan bahwa itu cukup berat. Air laut lalu disiramkan secara merata pada pasir itu. Ini dilakukan berulang-ulang.
Tak lama, belasan orang berperawakan tinggi datang dari jalan raya. Rambutnya ada yang pirang. Kulitnya putih. Mereka wisatawan dari luar negeri. Penasaran melihat proses pembuatan garam dengan cara tradisional.
Perhatiannya tertuju pada proses lain. Saat air laut telah ditaruh pada pohon kelapa yang terbelah, dengan cekungan dibagian tengah. Itu dijemur. Tempatnya berjajar rapi. Berpadu apik dengan gubuk bambu beratap ilalang.
Selain mengabadikan momen perjalanannya dengan berfoto, beberapa wisatawan nampak penasaran dengan rasa garam yang warnanya putih bersih itu.
Mereka langsung mencicipi. Disini, petani langsung menawarkan untuk membeli. Harganya tak mahal. Satu kilo Rp 25 ribu. Ini tergantung dengan musim.
Beberapa wisatawan tertarik untuk membeli. Senyum sumringah pun muncul dari petani yang kulitnya sudah mengkriput.
Guide, Putu Rias mengatakan wisatawan yang diajak itu berasal dari Denmark. Di negaranya sudah ada pertanian garam. Hanya menggunakan cara modern. “Disini kan masih tradisional. Itu yang menjadi daya tarik mereka ingin berkunjung,” tuturnya, Selasa (27/3).
Ia mengaku cukup sering mengajak wisatawan ke tempat ini.
Petani, I Wayan Warta menuturkan kunjungan wisatawan selalu ada setiap bulannya. Namun, sejak erupsi Gunung Agung, jumlahnya berkurang.
Meski demikian, itu tetap disyukuri karena bisa menambah pemasukan dari hasil berjualan. “Ada saja yang kesini. Tetapi tidak banyak,” ucapnya.
Bumbu dapur bercita rasa asin buatannya ini lebih banyak dijual ke pengepul. Itu menjadi berkah. Ada bekal untuk menyambung hidup ditengah usianya yang semakin tua.
Ia menuturkan profesinya itu sudah dilakoni sejak masih kecil. Pengetahuannya didapat dari orangtua. Saat musim baik seperti saat ini, produksinya per hari mencapai 10 kilogram. “Kalau musim hujan, berkurang banyak,” ucap priia 60 tahun ini.
Keberadaannya yang mampu menjadi “pemanis” dunia pariwisata, jumlah petani kian berkurang. Generasi muda tak lagi melirik. Mereka lebih memilih untuk mengadu nasib ke perkotaan dengan harapan penghasilan lebih menjanjikan. “Sekarang disini tinggal bertiga yang buat. Anak muda tidak mau lagi,” tandasnya. (Sosiawan/balipost)