AMLAPURA, BALIPOST.com – Angka konsumsi garam beryodium warga di Bali, ternyata terendah kedua di Indonesia. Fakta itu disampaikan Kepala Dinas PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) Bali, I Ketut Lihadnyana, saat bertatap muka dengan para perbekel se-Kecamatan Karangasem di Desa Bugbug.
Terlepas dari berbagai julukan penomenal bagi Bali, hingga disebut sebagai destinasi wisata terbaik dunia, ada masalah kesehatan serius karena ketidaktahuan warganya. “Masalah konsumsi garam ini terlihat sederhana. Tetapi, mengkonsumsi garam tak beryodium bisa membuat IQ anak-anak kita rendah. Tumbuhnya juga jadi kerdil. Padahal, ke depan yang harus kita persiapkan adalah kualitas SDM yang mampu bersaing di dunia global,” kata Lihadnyana.
Menurut dia, posisi Bali yang mengecewakan tersebut berdasarkan hasil dari riset kesehatan dasar. Konsumsi garam beryodium ini sangat penting, terutama bagi ibu hamil karena jika konsumsinya rendah itu langsung berpengaruh pada kondisi kecerdasan bayi yang rendah atau IQ-nya jongkok.
Selain itu, mengonsumsi garam tak beryodium bisa menyebabkan gondok. Melihat pentingnya persoalan ini, dia meminta desa bisa mengambil peran, untuk meningkatkan konsumsi garam warga di setiap desa.
“Lakukan sosialisasi yang gencar kepada warga-warga di desa. Kemudian, lakukan survei ke rumah dan warung-warung di desa, berikan penjelasan agar mendukung upaya-upaya pemerintah meningkatkan komsumsi garam beryodium,” tegasnya.
Ini bisa dilakukan bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Karangasem. Desa, katanya, juga bisa menggandeng Dinas Kesehatan untuk melakukan penelitian produksi garam setiap desa di Bali yang ada petani garamnya, untuk mengecek kadar yodium pada garam hasil produksi para petani garam. “Desa mesti mengambil peran, untuk menyelamatkan masa depan anak-anak kita,” tegasnya.
Kepala Disperindag Karangasem, I Gusti Ngurah Suarta, Rabu (28/3), mengaku pengawasan peredaran garam beryodium tetap dilakukan. Hanya saja, pihaknya lebih fokus pada evaluasi pengendalian harga-harga kebutuhan pokok.
Kalau mengenai pengendalian peredaran garam beryodium dan non-yodium, ini diperlukan dasar regulasi yang jelas dari provinsi. Sehingga, aparat di bawah lebih mudah melakukan sosialisasi sekaligus melakukan eksekusi. “Tingkat kesadaran masyarakat soal kesehatan konsumsi garam memang rendah. Garam kelihatannya sepele. Jadi, hasil pengamatan kami, mana yang murah itu yang dipakai,” katanya.
Dia mendorong adanya regulasi yang jelas. Kemudian, ditindaklanjuti lintas OPD, baik dari Disperindag, Dinas Kesehatan, Dinas PMD maupun lembaga terkait lainnya hingga ke desa.
Upaya pembinaan juga perlu dilakukan hingga ke tingkat petani garam dan masyarakat di desa-desa dengan melibatkan pemerintah desa. Sehingga, upaya memasyarakatkan garam beryodium bisa lebih besar dan berdampak pada kesadaran konsumsi masyarakat. (Bagiarta/balipost)