JAKARTA, BALIPOST.com- Ke depan, peraturan perundangan mengenai penundaan proses hukum terhadap calon kepala daerah (cakada) yang ditetapkan sebagai tersangka perlu diperbaiki secara komprehensif. DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang diminta tidak mendasarkan revisi UU mengenai ketentuan itu pada kepentingan untung rugi partainya.
“Jalan keluarnya dari persoalan ini, menurut saya mengubah undang-undang tetapi apakah sekarang saatnya untuk kepentingan Pilkada 2018? Menurut saya itu nggak bisa, dan nggak boleh cara berpikir parsial jangka pendek seperti ini. Mengubah undang-undang kok seperti permak Levis, tambal sana, tambal sini nggak karuan,” kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang dalam diskusi bertema ‘Regulasi Cakada Korupsi, Perppu atau revisi UU?’ di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (29/3).
Sebastian mengungkapkan sebenarnya masalah calon kepala daerah menjadi tersangka ini bukan sesuatu yang baru. Sebelumnya sejak pilkada 2014 dan 2015 sempat keluar surat Kapolri berisi penundaan proses hukum terhadap calon kepala daerah tersangka, namun ketika pilkada 2017 di DKI Jakarta, surat edaran Kapolri itu diabaikan. Polri tetap melakukan proses huku, terhadap calon gubernur DKI Jakarta ketika itu Basuki Tjahja Purnama (Ahok). “Seandainya kesadaran itu ada di pemerintah dan DPR RI sejak dulu, maka tak akan masalah yang diributkan seperti sekarang ini. Jadi, revisi tak mungkin, dan apalagi Perppu karena tak ada alasan kegentingan yang memaksa,” tegas Sabastian Salang.
KPK, kata Sabastian, memang pernah menyebut sebanyak 90 persen paslon kepala daerah berpotensi terjerat hukum. Tapi kemudian diralat. “Apa jadinya kalau 90 persen itu kena kasus hukum? Pasti akan ada kegoncangan politik,” kata dia.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Riza Patria medukung sikap KPK yang terus melakukan tugasnya untuk OTT dan memproses calon kepala daerah yang terlibat korupsi. “Kami tidak setuju dengan permintaan pemerintah bahwa calon kepala daerah tidak diganggu dengan OTT atau diproses jadi tersangka. Kalau ini terjadi maka ada ketidakadilan hukum di negara ini. Padahal hukum berlaku bagi seluruh warga negara tidak mengenal presiden, calon pilkada, menteri, sama kedudukandimata hukum,” ujarnya.
Jika memang ada calon kepala daerah yang kena OTT atau tersangka korupsi, menurutnya, tetap harus diproses tanpa ada pengecualian atau penundaan pemeriksaan. “Sehingga bagi calon kepala daerah untuk hati-hati dalam bekerja agar tidak kena OTT atau tesangka korupsi jika mau aman menjadi calon kepala daerah,” tegasnya. (Hardianto/balipost)