BANYUWANGI, BALIPOST.com – Menjadi kaum minoritas, tak menyurutkan semangat beragama umat Hindu di Dusun Sumberagung, Desa Karangdoro, Kecamatan Tegalsari, Banyuwangi, Jatim. Meski hanya 18 kepala keluarga (KK), umat Hindu Jawa ini mampu membangun pura megah.
Adalah Pura Agung Waseso di desa setempat. Setelah menunggu hampir 30 tahun, pura di Banyuwangi selatan ini di-pelaspas dan ngenteg linggih, Sabtu (31/3).
Yang beda, meski menggunakan arsitektur Bali, umat Hindu setempat tetap melestarikan budaya Jawa. Di dalam bangunan utama pura, berdiri sebuah candi megah. Berarsitektur khas Majapahit. “Kami memang ingin mempertahankan kearifan lokal, tradisi leluhur. Jadi, tetap membuat candi, selain padmasana di mandala utama pura,” kata Ponidi, tokoh umat setempat.
Dijelaskan Ponidi, Pura Agung Waseso ini mulai dirintis sejak tahun 1993. Kala itu, umat bersepakat membangun pura sendiri.
Sebelumnya, harus ke Pura Satya Dharma, jaraknya sekitar 2 kilometer dari desa setempat. Akhirnya, setiap umat menabung Rp 25 ketika persembahyangan keliling setiap Rabu. Dari dana iuran itu, terkumpul Rp 400.000. “Uang itu akhirnya kita belikan lahan seharga Rp 350.000, yang sekarang menjadi pura. Luasnya, 12,5 x 25 meter. Ini dahulunya juga lahan umat,” jelasnya.
Sejatinya, lahan itu akan dihibahkan. Namun, umat tetap membelinya. Sebab, khawatir kelak akan diambil alih keturunan pemilik lahan.
Setelah lahan terbeli, umat kembali mengumpulkan iuran pembangunan. Setiap KK diwajibkan membuat batu bata 500 biji di atas lahan yang dibeli tersebut. Perjuangan ini membuahkan hasil.
Pembangunan pertama, kata Ponidi, berhasil mendirikan tembok penyengker dan padmasana kecil. “Itulah cikal bakal Pura Agung Waseso ini,” jelasnya didampingi pemangku pura, Paimin.
Setelah pura berdiri, umat tak lagi bersembahyang ke pura yang jauh. Akhirnya, tahun 1995 mendapat bantuan dari Pemkab Banyuwangi. Dipakai membangun kori agung.
Lalu, tahun 1996, mendapat bantuan lagi dari Pemkab, dipakai membuat tembok penyengker keseluruhan. Umat pun kian bersemangat. Karena minimnya dana, mayoritas umat setempat hanya petani, mereka tak mampu membangun pura yang lebih megah dan lengkap.
Bahkan, belum pernah menggelar upacara ngenteg linggih dan pemelaspas. “Kami berterima kasih, tahun 2018, mulai Januari kemarin, ada donatur dari Bali. Pura kami dibangun lebih lengkap. Mulai padmasana yang megah, candi, panglurah, taksu dan apit lawang,” jelas Ponidi.
Biaya yang dihabiskan mencapa sekitar Rp 150 juta. Hasil swadaya umat setempat dan sebagian besar sumbangan dari umat Hindu Bali.
Memiliki pura yang megah, kata Ponidi, membuat umat setempat makin bersemangat. Pura ini menjadi pusat kegiataan beragama. Mulai tilem purnama, kliwonan dan kegiatan kepemudaan.
Apalagi, pura yang piodalannya jatuh setiap tumpek landep ini lokasinya berdekatan dengan perkampungan Hindu. “Di kampung sini, mayoritas memang umat Hindu,” jelasnya.
Nama Pura Agung Waseso memiliki makna, keagungan dari Ida Sang Hyang Widi. Sementara itu, prosesi ngenteg linggih dan pemelaspas berlangsung meriah. Ratusan umat Hindu dari Kecamatan Tegalsari ikut tangkil. Upacara dipuput Ida Pandita Empu Dharmika Sandi Kertayasa dari Griya Pesanggaran, Banyuwangi. Upacara diawali dengan pecaruan.
Lalu, mendem pedagingan dan pemelaspas sekaligus piodalan. Puncak prosesi ditandai dengan ngarak tirta berkeliling kampung. Alunan bale ganjur bertalu, mengiringi arak-arakan. Upacara diakhiri dengan persembahyangan bersama. Sebelumnya, umat mendengarkan dharma wacana dari dosen IHDN Denpasar, Romo Poniman. (Budi Wiriyanto/balipost)