Hinca Panjaitan. (BP/har)

JAKARTA, BALIPOST.com – Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan cuti bagi Calon Presiden petahana di Pemilu 2019 bersifat wajib. Namun, cuti yang diambil presiden harus bersifat fleksibel.

Artinya, apabila kehadiran presiden dinilai perlu untuk membuat kebijakan penting dalam keadaan darurat maka cuti bisa dibatalkan. “Persoalan cuti ini merupakan hal teknis yang pengaturannya tidak ditempatkan dalam UUD 1945, melainkan Undang-Undang ataupun peraturan dibawahnya,” kata Sekjen DPP Partai Demokrat Hinca Panjaitan dalam diskusi bertajuk “Aturan Capres Cuti, Fleksibel atau Permanen: Siapa Untung” di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (5/4).

Menurut anggota Komisi III DPR ini, dalam UU Pemilu sangat jelas dinyatakan bahwa bagi Presiden dan juga Wakil Presiden (petahana) yang ingin melaksanakan kampanye, diharuskan untuk mengambil cuti. Hinca tidak sependapat terhadap usulan agar cuti presiden permanen, sehingga perlu ditunjuk pelaksana tugas sementara (plt).

Baca juga:  Paripurna DPR RI Setujui 26 RUU Kabupaten/Kota Jadi UU

Sebab, hal itu sama saja membuat norma baru dan tidak sejalan dengan amanat UU. Meskipun, diakuinya di era Presiden Soekarno pernah menunjuk plt presiden ketika Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dengan menunjuk Perdana Menteri Safrudin Prawiranegara.

“Nomenklatur hukum kita telah merumuskan bahwa presiden memegang kekuasaan penuh menurut UUD, artinya jabatan presiden sangan krusial dalam menentukan arah kebijakan nasional saat memimpin pemerintahan. Filosofi yang diterapkan dalam UU dan peraturan mekanisme cuti yang berbeda dengan cuti kepala daerah,” terangnya.

Baca juga:  Bioskop Misbar Bekraf Ramaikan Sail Sabang 2017

Hinca mengatakan sesuai ketentuan perundangan Presiden Joko Widodo selaku capres petahana memang harus cuti. “Meski untuk beberapa jam atau beberapa hari saja saat kampanye pilpres, tapi harus ada pengecualian cuti biSa tidak berlaku tak boleh ada kekosongan kekuasaan dan tugas presiden tidak melekat pada Wapres,” kata Hinca.

Jabatan presiden menurutnya merupakan jabatan publik dan sangat krusial sehingga cutinya harus dibatasi; apakah selama 6 bulan, 3 bulan, 3 minggu, 3 hari, dan lain-lain. “Cuti itu tidak full, karena diwajibkan dengan ketentuan yang ditentukan oleh KPU,” ujarnya.

Berkaca dari cuti presiden sebelumnya, cuti sudah dilakukan sejak pilpres 2004 oleh Megawati, Hamzah Haz, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hanya saja berbeda konsep cuti pilpres dan pilkada.

Baca juga:  Kuasa Hukum PDIP: PTUN Diyakini Berwenang Adili Gugatan Terhadap KPU

Sementara itu, Sekretaris Fraksi NasDem DPR RI, Syarif Abdulah Alkadri menilai jika hal itu harus dikembalikan kepada sistem ketatanegaraan. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, tugasnya tidak melekat pada Wapres. “Maka, tak bisa ada plt presiden,” ungkapnya.

Yang perlu dipahami kata Syarif, cuti pilpres itu berbeda dengan cuti dalam pilkada. Dimana tugas-tugas gubernur, bupati, dan walikota, bisa dikerjakan oleh Plt. Selain itu, sistem kekuasaan adalah presidensial. “Jadi, presiden cuti saat kampanye saja,” kata Syarif. (Hardianto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *