DENPASAR, BALIPOST.com – Rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang Atraksi Budaya yang rencananya akan memasukkan tajen (sabung ayam) dan ceki (permainan kartu) di dalamnya masih menuai pro dan kontra. Terlepas dari itu, DPRD Bali dan pemerintah Bali diharapkan bisa juga memperhatikan iklim usaha.
Sebab, menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bali, AA Ngurah Alit Wiraputra, era digital memerlukan pengaturan atau kebijakan yang cepat dan tepat. “Atraksi budaya memang menumbuhkan perekonomian Bali, tapi itu kerap disalahgunakan. Seperti atraksi budaya tajen disalahgunakan sebagai ajang judi. Padahal atraksi budaya di desa sangat membantu memberdayakan perekonomian. Ada penjualan makanan, kuliner dan perdagangan lain,” bebernya Kamis (5/4).
Menurutnya rancangan perda atraksi budaya yang kerap disebut perda tajen justru lebih banyak menimbulkan dampak negatif. Selain itu, atraksi budaya tajen dan ceki rentan disalahgunakan dan didompleng dengan judi.
Oleh karena itu iklim usaha dinilai lebih penting dibahas karena dampaknya pasti positif bagi perekomian terutama bagi masyarakat Bali sendiri. Kalangan pengusaha berharap pemerintah memberikan perlindungan kepada pengusaha lokal.
Karena di era digital, persaingan usaha sangat ketat. “Kita diserbu pengusaha internasional yang memiliki jaringan luas dan nasional yang modalnya kuat. Sehingga kalau memang mau berbuat yang baik, buatlah sesuatu yang bagus untuk perlindungan pengusaha kecil di Bali,” tandasnya.
Misalnya, mart nasional yang menjamur di Bali. Menurutnya, jika hal ini diatur dengan memberikan kesempatan yang luas bagi mart lokal, hal ini justru lebih bermanfaat untuk ekonomi masyarakat Bali. Masalah lainnya penguatan BumDes dan koperasi pedesaan. “Karena di kancah global, mereka dilindungi oleh pemerintahnya,” ungkapnya. (Citta Maya/balipost)