DENPASAR, BALIPOST.com – Saat menjabat Kapolda Bali, Made Mangku Pastika sangat getol menolak keberadaan tajen dengan judi didalamnya. Kini, saat tajen atau sabung ayam akan dimasukkan dalam Ranperda Atraksi Budaya, Pastika yang menjabat Gubernur Bali ternyata tak banyak menyinggung soal itu dalam memberikan pendapat soal ranperda itu, Senin (9/4).
Secara umum, hanya disebutkan perlu ada pengkajian yang lebih mendalam untuk menyempurnakan aspek substansi ranperda tersebut. Ada tiga hal yang menurut Pastika perlu kajian mendalam.
Pertama, menyangkut materi atau substansi ranperda Atraksi Budaya yang ketika dicermati banyak mengadopsi Perda No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Akibatnya, terjadi tumpang tindih pengaturan sehingga disarankan untuk melakukan revisi terhadap Perda No.2 Tahun 2012 dengan memasukkan materi atau substansi ranperda tentang Atraksi Budaya.
Kedua, Pastika mengatakan perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Diantaranya, PHDI, Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP), serta tokoh-tokoh seni dan budayawan. Khususnya pada penyebutan simbol-simbol dalam Agama Hindu.
Selain itu, yang ketiga, perlu dilakukan kajian materi teknis terhadap materi-materi lain, yang sangat bersentuhan dengan wilayah atau konsep Agama Hindu dan adat Bali. “Namanya kan atraksi budaya, saya kan nggak nyebutin ada tajen. Saran saya, kaji lebih jauh, dengar pendapat semua pihak. Apakah MUDP, PHDI, para budayawan, dan lain-lain, semua harus didengar. Jadi dikaji dulu lebih jauh,” ujarnya selepas Rapat Paripurna.
Mengenai adanya materi tentang sabungan ayam dalam ranperda inisiatif dewan itu, Pastika menyatakan tergantung bagaimana masyarakat menerima dan menyikapi hal itu. Namun demikian, keberadaan ranperda dikatakan urgent karena terkait dengan aturan mana yang boleh dan tidak boleh.
Begitu juga, mana yang harus didukung anggaran dan mana yang tidak usah. “Terus bagaimana mengatur obyek-obyek wisata. Seperti tari-tarian, mana yang boleh, mana yang tidak. Kapan boleh, kapan tidak. Misalnya rejang dewa, itu kan hanya untuk di pura. Ada yang tidak boleh dipertontonkan di luar, untuk cari duit. Ini kan harus jelas dan tegas, supaya sama di seluruh Bali,” jelasnya.
Menurut Pastika, beberapa unsur budaya Bali telah diakui sebagai warisan budaya tak benda nasional, bahkan ada yang diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO. Hal ini sebetulnya menjadi peluang promosi yang akan sangat laku untuk dikelola menjadi produksi atraksi pariwisata.
Keberadaan ranperda diharapkan bisa mengelola lebih baik lagi dan lebih tepat guna. “Misalnya sawah di Jatiluwih sudah diakui UNESCO, tapi kan kita belum bisa memanfaatkan optimal untuk kesejahteraan rakyat. Orang kesana cuma lihat, kemudian pulang lagi. Apa yang didapat petani? Sebenarnya kan petani itu ‘pragina’-nya, tapi tidak dapat honor. Bagaimana kita mengaturnya,” imbuhnya.
Sekalipun ranperda inisiatif dewan, lanjut Pastika, pembahasannya tetap menjadi tanggung jawab antara eksekutif dan legislatif. Eksekutif khususnya belum merancang perda lain yang berkaitan dengan pelestarian budaya dan lingkungan, maupun penguatan ekonomi rakyat. “Kalau sudah ada ini ya ini, kita tidak perlu dobel,” pungkasnya.
Sementara itu, Pansus Ranperda Atraksi Budaya Tradisional Bali langsung melakukan pembahasan mengenai pendapat gubernur usai Rapat Paripurna. Pembahasan utamanya membandingkan antara substansi ranperda dengan Perda Kepariwisataan Budaya Bali.
Dalam hal ini, melihat dimana letak kesamaannya, dan substansi mana yang tumpang tindih. “Perda No.2 Tahun 2012 memang ada tujuannya untuk melindungi kebudayaan Bali dalam konteks konsumsi wisatawan. Kita nanti tidak spesifik nanti berorientasi pada kepentingan wisatawan, itu yang sedang kita konstruksikan,” ujar Politisi Golkar ini.
Menurut Gunawan, konstruksi dalam ranperda Atraksi Budaya adalah melestarikan dan memelihara budaya tradisional Bali. Pihaknya juga sedang memformulasikan teknis untuk pendataan atraksi budaya yang ada di Bali. Mana yang tergolong sakral, dan mana yang tergolong profan. (Rindra Devita/balipost)