DENPASAR, BALIPOST.com – Februari 2018 pertumbuhan kredit baru tumbuh 5,9 persen (yoy). Padahal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan pertumbuhan kredit 10 persen. Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi melambat.
Kepala OJK Regional 8 Bali Nusra Hizbullah mengatakan, secara nominal penyaluran kredit perbankan hingga Februari 2018 baru mencapai Rp 82,4 triliun. Sedangkan kondisi yang sama tahun lalu mencapai Rp 77,8 triliun. “Kredit perlu diwaspadai karena tumbuhnya masih tergolong kecil dari rata-rata target yang OJK tetapkan yaitu 10 persen pada 2018 ini,” ujarnya Selasa (10/4).
Pertumbuhan kredit yang kecil ini dikatakan rentan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Sehingga bank perlu menggenjot penyaluran dana yang dihimpun dalam bentuk kredit ke sektor usaha. “Harapan kita kredit tumbuh lebih besar, karena pertumbuhan kredit menggambarkan pertumbuhan ekonomi, usaha dan dunia bisnis di Bali,” ujarnya.
OJK menilai melambatnya pertumbuhan kredit bank, bukan berarti ada masalah di lembaga keuangan tersebut. Karena bisa saja ada sektor riil yang belum berjalan optimal di awal tahun.
Terbukti dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan mengalami peningkatan 8,57 persen (yoy) atau dari Rp 88,7 triliun pada Februari 2017 menjadi Rp 96,3 triliun pada Februari 2018. “Itu menunjukkan DPK tumbuh hanya saja dana yang dihimpun bank tersebut mungkin belum bisa terserap dunia usaha di Bali,” paparnya.
Dunia usaha di Bali yang lebih banyak bersentuhan dengan dunia pariwisata belum optimal menyerap kredit bank, diprediksi masih dalam suasana awal tahun dan masih ada terpengaruh kondisi Gunung Agung. Karenanya, OJK memprediksi pertengahan tahun kemungkinan penyaluran kredit akan tumbuh seiring geliat dunia usaha di Bali yang umumnya sudah mulai tumbuh. “Kami harapkan pertengahan tahun ini perbankan bisa meningkatkan penyaluran kreditnya dan tentunya tetap menerapkan prinsip kehati-hatian,” ucap Hizbullah.
Ketua Umum Kadin Bali AA Ngurah Alit Wiraputra mengatakan, pertumbuhan ekonomi jauh dari. Menurutnya pertumbuhan ekonomi Indonesia seharusnya di atas 7 persen.
Sedangkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pertumbuhannya baru 5 persen. Diakui semua sektor usaha mengalami penurunan penjualan dan ketidakpastian pendapatan.
Hal itu yang membuat kalangan pengusaha masih wait and see. “Ini saja untuk pengusaha yang sudah terlanjur berhutang, sudah pingsan. Sehingga untuk menambah kredit mereka tidak berani. Karena masih dalam fase bertahan,” ungkapnya.
Ketidakpastian kondisi ini yang turut menyeret pengusaha untuk menunggu berinvestasi di dalam negeri. Padahal Presiden Jokowi menyebutkan dua cara untuk menumbuhkan ekonomi kuncinya investasi dan ekspor.
Meski investasi di Indonesia mendapat ranking di dunia sebagai tempat investasi yang bagus karena angkatan kerja tinggi. Namun, dunia sendiri tidak memiliki dana yang besar untuk investasi.
Pengusaha juga takut berinvestasi. Selain karena pungutan pajak memberatkan pengusaha, juga karena proses perijinan yang masih sulit. “Pengusaha itu takut sekarang berinvestasi karena pemerintah itu sekarang celang. Pajak dikejar, darimana uangnya. Itu ditanya. Sehingga itu menyebabkan pengusaha tidak berani berinvestasi,” bebernya.
Selain itu dari sisi produk, produk Cina yang mendominasi. Sehingga ekspor Indonesia kalah dengan produk Cina yang bisa menjual dengan harga yang lebih murah. Sehingga harapan negara yang berinvestasi adalah Cina.
Pemerintah juga tidak menjembatani ekspor pengusaha. Padahal ada duta besar dan perwakilan di masing-masing negara. Seharusnya perwakilan Indonesia di luar negeri itu menginformasikan dan melihat potensi negara tersebut. Dengan demikian pengusaha Indonesia dapat menyediakan kebutuhan dari negara tersebut.
Pengamat ekonomi Prof IB Raka Suardana menyatakan persepsi yang sama. “Pemerintah agak tegak dari sisi hukum untuk yang negatif seperti korupsi sehingga berpengaruh juga terhadap yang lainnya,” ujarnya.
Melambatnya kredit perbankan bisa dilihat dari sisi supply. Perbankan masih berhati-hati dan belum terlalu agresif memberikan pinjaman lantaran pertumbuhan ekonomi yang masih tertekan. Sehingga bisa menyebabkan risiko kredit bermasalah (NPL) naik.
Selanjutnya dari sisi demand yakni banyak perusahaan yang tidak meminjam kredit dikarenakan pertumbuhan bisnis yang masih belum kuat. Hal ini mungkin dikarenakan melemahnya konsumsi rumah tangga akibat pelemahan daya beli.
Solusinya, BI sebaiknya mengambil kebijakan pelonggaran moneter, seperti dengan pemotongan BI 7 day repo rate dan kebijakan makroprudensial lainnya. Sehingga suku bunga kredit bisa turun.
Meski demikian perlambatan pertumbuhan kredit ini juga dikarenakan serapan anggran pemerintah belum banyak. Namun di pertengahan tahun serapan anggaran akan naik ditambah juga dengan musim peak season akan memacu pertumbuhan. “Awal tahun ini memang low season,” imbuhnya. (Citta Maya/balipost)