JAKARTA, BALIPOST.com – Selama 10 Tahun berdiri, para peneliti The Ary Suta Center (ASC) banyak menerbitkan buku-buku yang berisi pencerahan kepada masyarakat. Pada Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-10 kali inipun, The ASC kembali menerbitkan buku dengan judul ‘To Infinity and Beyond, Cosmopolitanism in International Relations’.
Founder & Chairman The Ary Suta Center (ASC), I Putu Gede Ary Suta mengatakan organisasi yang didirikannya selalu berupaya mengeluarkan ide dan gagasan yang dituangkan dalam bentuk buku maupun jurnal karya ilmiah yang disebutnya Manajemen Startegi. “Pada kesempatan ini, saya ingin mengundang bapak ibu sekalian yang ingin menulis, terutama tulisan-tulisan yang tidak menyinggung orang lain, tulisan-tulisan yang menjunjung kejujuran dan mencerdaskan orang lain,” ajak Ary Suta dalam sambutan di acara HUT ke-10 The ASC, di Kantor ASC, Jalan Prapanca, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (12/4).
Acara juga dibarengi dengan diskusi bedah buku berjudul ‘To Infinity and Beyond, Cosmopolitanism in International Relations’ karya peneliti dari The ASC, Prof.Anak Agung Banyu Perwita Ph.D dan Reza Alexander Antonius Wattimena Ph.D, serta Penerbitan jurnal rutin Manajemen Strategi The ASC edisi April 2018.
Sejumlah tokoh, kolega serta tamu undangan hadir dalam acara tersebut antara lain Tomoko Kanazawa, Agung Putra (WHDI), Dr. Hariyanto (ahli Fintech), Widya R. Erata, Putri Indonesia 2018 Sonia Fergina mewakili Mooryati Soedibyo.
Sementara itu, dalam bedah buku ‘To Infinity and Beyond, Cosmopolitanism in International Relations’, para peneliti The ASC mengulas tentang konsep kosmopolitan yang dirumuskan dalam bentuk buku yang disusunnya.
Prof. Anak Agung Banyu Perwita Ph.D peneliti yang menulis buku tersebut menekankan pentingnya masyarakat Indonesia tetap menjunjung pada identitas asli sebagai pengawal budaya lokal dan penjaga nilai-nilai keIndonesiaan.
Di sisi lain, tetap juga bergerak mengikuti perubahan jaman yaitu globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi. “Jadi konsep kosmopolitan yang kita buat ini semacam tawaran, terutama kepada generasi muda untuk melawan aspek negatif dari globalisasi. Poinnya adalah perlunya perlu keseimbangan. Yaitu keseimbangan yang bisa dimunculkan ketika ada kesadaran ketika kita dihadapkan gempuran globalisasi,” kata Banyu Perwita.
Gempuran globalisasi itu tidak bisa dihindari, tetapi tetap harus diikuti dengan nilai-nilai dan budaya lokal. Dia mencontoh, masyarakat Bali yang memiliki akar budaya sangat kuat dan membuktikan bisa menahan gempuran globalisasi, tapi pada titik tertentu budaya lokal Bali mulai tergerus.
Di sinilah kesadaran masyarakatnya harus dibangun, melalui konsep kosmopolitan yang dirumuskan tersebut. “Itu sebabnya kosmopolitan menjadi penting. Kesadaran penting agar budaya dan kearifan lokal tetap mengakar tetap terjaga untuk menghadapi gempuran globalisasi. Sebab, kalau tidak mampu menjaga budaya lokal, maka masuk tekanan pihak asing,” ingat Dekan dari Presiden University ini.
Peneliti dan penulis buku lainnya, Reza Alexander Antonius Wattimena Ph.D mengatakan konsep kosmopolitan yang mereka tawarkan yaitu kembali pada identitas atau jati diri bahwa pada awalnya semua manusia adalah sama.
“Jadi ketika konflik muncul karena manusia tumbuh dan diberi label oleh orang tua dan masyarakat, diberi nama, punya suku, bahkan organisasi tertentu dan lainnya, muncullah politik identitas yang seringkali justru yang lebih ditonjolkan. Sehingga akhirnya kerap muncul benturan dan konflik,” katanya.
Dengan konsep kosmopolitan inilah, kesadaran masyarakat dan kelompok organisasi tertentu yang mengendepankan kepentingan dan egonya disadarkan dan dibangun, bahwa pada dasarnya semua manusia adalah sama yaitu dari sumber yang satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. “Silakan pakai identitas. Tapi digunakan seperlunya. Dan jangan juga bertentangan dengan jati diri tentang siapa kita sebenarnya. Karena ketika kita lahir, kita ini semua sama, komunitas dan masyarakat di sekitar lah yang kemudian membentuk kita,” imbuhnya. (Hardianto/balipost)