SEMARAPURA, BALIPOST.com – Perhatian pemerintah untuk sektor pertanian, terlebih di tengah upaya mengejar swasembada pangan sudah cukup besar. Berbagai bantuan sarana-prasarana telah digelontorkan.
Namun hal tersebut belum mampu merangsang generasi muda untuk menggeluti sektor agraris itu. Sektor ini hanya tetap dilakoni masyarakat yang sudah berumur.
Kondisi ini diakui Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) I Wayan Kardana. Perhatian pemerintah itu ditunjukkan melalui subsidi pupuk yang rutin setiap tahun. Khusus untuk Kabupaten Klungkung, untuk urea pada 2017 sebanyak 1.970 ton, tahun ini menjadi 2.200 ton dengan harga 1.800 per kilo, SP36 dari 48 ton menjadi 100 ton dengan harga Rp 2 ribu per kilo, ZA dari 190 ton menjadi 500 ton dengan harga Rp 1.400 per kilo dan organik dari 500 ton menjadi 675 ton dengan harga Rp 500 per kilo.
Penurunan jatah hanya terjadi pada NPK dari 1.250 ton menjadi 1.100 ton dengan harga Rp 2.300 per kilo. Selain itu, ada pula Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP), yang pada 2017 ditarget 1.500 hektar dan realisasinya 1.800 hektar. Pada program ini, petani akan mendapatkan pertanggungan Rp 6 juta per hektar jika terjad gagal panen 75 persen per hektar.
Tahun ini, program serupa dipastikan kembali bergulir, hanya jumlahnya belum jelas. Dari sisi alat mesin pertanian, seperti penanaman, alat panen hingga pembajak sawah juga demikian. Setiap tahun pemerintah menggelontorkan. “Program pemerintah untuk pertanian memang sudah banyak. Tetapi belum bisa menggugah generasi muda untuk bertani,” ungkap Kardana.
Menurut pria asal Desa Bakas, Kecamatan Banjarangkan ini pemerintah perlu mempersiapkan konsep program yang lebih jitu lagi untuk “menyelamatkan” sektor pertanian yang sejatinya menjadi sumber perekonomian hulu masyarakat, khususnya Bali. Perlu ada sentuhan teknologi yang lebih nyata. “Ini berbicara pertanian dalam arti luas. Misalnya untuk peternakan. Memelihara sapi. Dari segi pakan, harus bisa disediakan dengan sentuhan teknologi berupa buatan. Saya kira ini perlu duduk bersama,” jelasnya.
Perhatian untuk hasil panen juga harus tetap ada dari pemerintah. Di bumi serombotan, Pemkab sudah menggulirkan program beli mahal jual murah yang bekerja sama dengan KUD.
Artinya membeli gabah dengan harga lebih tinggi dari pasaran dan menjual beras lebih murah dari pasaran. Namun hasilnya belum dirasakan seluruh petani. “Petani banyak yang belum merasakan. Ketika program ini diluncurkan oleh pemerintah, sosialisasinya juga masih kurang. Serapannya juga baru sebatas padi. Ini pun yang terserap KUD tidak banyak karena masih kekurangan sarana-prasarana,” imbuhnya.
Kepala Dinas Pertanian Klungkung, Ida Bagus Gde Juanida mengakui menggugah generasi muda untuk bertani menjadi tugas berat. Lesunya ketertarikan karena dipandang tidak memberikan harapan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.
Hal ini tidak lepas dari lahan garapan yang rata-rata masih tergolong sempit, kisaran 20 sampai 30 are. “Kalau dari sisi analisis usaha, itu sudah tidak mungkin bisa mensejahterakan. Hanya dapat Rp 1,5 juta setiap panen. Itu selama tiga bulan. Dari sisi kecukupan hidup, tentu tidak bisa,” katanya.
Guna mendapatkan hasil yang mampu menopang kebutuhan hidup, idealnya petani harus menggarap lahan diatas satu hektar. Ini bisa dilakukan dengan sistem kontrak. “Kuncinya ada pada lahan. Kami terus kampanyekan ini, supaya petani bisa menggarap lebih luas. Sudah ada beberapa petani yang mencoba. Kalau hanya mengandalkan lahan yang ada digarap sekarang, sekeras apapun bekerja, hasilnya tetap kurang,” tegas mantan Kepala Kantor Ketahanan Pangan Klungkung ini.
Disampaikan lebih lanjut, dari sisi sentuhan teknologi, pemkab sudah menerapkan berupa alsintan. Pembinaan juga sudah dilakukan secara berkelanjutan.
Yang terbaru, muncul keinginan untuk merekrut tenaga ahli bidang teknologi pertanian. Hanya itu masih bergantung pada ketersediaan anggaran. “Keinginan untuk memiliki tenaga yang sesuai bidangnya memang sempat dibicarakan. Tetapi ini tetap tergantung anggaran,” pungkasnya. (Sosiawan/balipost)