NEGARA, BALIPOST.com – Kesenian Jegog yang identik dengan Kabupaten Jembrana disamping memiliki suara gamelan yang khas, perawatannya juga tergolong ekstra dan mahal. Dalam merawat gamelan Jegog ini, diperlukan tempat dan perlakuan khusus.
Sebab dibandingkan gong atau gamelan lainnya, alat musik jegog lebih rentan rusak karena faktor cuaca ataupun tempat penyimpanan yang tak layak. Satu saja bambu yang rusak/pecah diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Minimal Rp 350 ribu per satu bilah bambu. Bahan bambu yang digunakan pun jarang ditemukan di Jembrana lagi.
Untuk mendapatkan bambu petung (bagian paling belakang) yang berdiameter besar itu, para perajin harus mencari di luar Jembrana, seperti Tabanan dan Karangasem. “Sekarang hampir tidak ada (bambu petung), harus memesan di Tabanan atau Gianyar,” ujar Oka, pemain Jegog asal Kelurahan Sangkaragung.
Sehingga ketika gamelan bambu itu pecah, maka akan kesulitan dan biayanya cukup besar. Apalagi, saat pementasan Jegog dilakukan mebarung (adu suara) antar-sekaa, peluang pecahnya bambu cukup besar.
Sehingga sekaa harus menyiapkan cadangan gamelan ketika bambu pecah. Begitu halnya dengan bambu lainnya yang lebih kecil seperti bambu jajang atau santong (lebih kecil) untuk suwir, kantil dan barangan masih bisa diperoleh.
I Ketut Dernen, seniman penyetel gamelan Jegog asal Pancardawa, Kelurahan Pendem beberapa waktu lalu mengatakan gamelan Jegog memiliki keistimewaan sehingga perawatannya pun harus ekstra. Bambu yang digunakan pun juga harus yang terpilih.
Selain perangkat yang besar, nada suara lazimnya berubah saat berganti cuaca atau iklim. Misalnya, ketika alat musik bambu itu dibawa ke daerah dataran tinggi yang dingin, ketika ditabuh suaranya pasti berubah.
Dernen berharap kendatipun instrumen musik ini cukup boros tempat, bisa disetarakan dengan alat musik lainnya. Pascabom Bali tahun 2000 lalu, banyak sekaha di Jembrana yang terpuruk karena minimnya pentas ke luar daerah dan minim pembiayaan. Sedangkan pentas-pentas di dalam Jembrana, bayaran tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Padahal perawatan untuk alat musik ini cukup tinggi.
Seringkali, biaya untuk transportasi alat, penabuh serta perawatan gambelan lebih besar dari bayaran yang diterima. Untuk membuat seperangkat alat musik Jegog minimal dibutuhkan dana hingga Rp 50 juta.
Pria kelahiran tahun 1956 ini selain menabuh juga dikenal kemampuannya dalam menyelaraskan nada gamelan Jegog. Tidak semua seniman memiliki kemampuan menyetel alat musik dari bambu ini.
Bahkan Dernen mampu menyetel nada Jegog utuh dalam satu oktaf (do-re-mi-fa-sol-la-si-do). “Sekarang saya lebih banyak kerja kalau dipanggil, ada yang memanggil saya kerjakan disana. Bayaran tidak menarget, yang penting (gamelan) jadi dan senang sudah jadi,” kata pria berpenampilan sederhana ini.
Keahlian seniman yang mengantongi penghargaan Satya Laksana Dharma Kusuma tahun 2013 ini, diperolehnya dari orang tua dan para seniman pembuat Jegog pendahulunya. Sisa bambu Jegog yang sudah rusak atau pecah biasanya tidak lagi dipergunakan dan dibuang.
Namun di tangan orang-orang kreatif, limbah bambu Jegog itu dimanfaatkan lagi untuk hal lainnya. Seperti yang dilakukan sejumlah siswa dan guru SMAN 2 Negara.
Bambu bekas gamelan Jegog yang menumpuk dan tidak bisa digunakan lagi, dimanfaatkan kembali. Seperti untuk pot tanaman misalnya.
Kepala SMAN 2 Negara, I Wayan Sudiarta mengatakan sekolah sengaja memanfaatkan bambu gamelan Jegog sekolah yang rusak itu agar berguna kembali. “Dari pada tidak digunakan dan menumpuk, kami manfaatkan untuk pot tanaman untuk di sekitar sekolah,” terangnya.
SMAN 2 Negara merupakan salah satu SMA yang memiliki gamelan Jegog ini dan sering tampil dengan penabuh para siswa. Selain pot bunga, bambu yang diantaranya berdiameter besar ini juga bisa dimanfaatkan untuk kerajinan lainnya seperti asbak atau tempat pensil. (Surya Dharma/balipost)