DENPASAR, BALIPOST.com – Isu SARA rupanya masih muncul dalam perekrutan tenaga kerja pariwisata di Bali. Baru-baru ini beredar di media sosial, sebuah hotel di Pecatu membuka lowongan pekerjaan houskeeping supervisor untuk tenaga non Hindu.
Hal inipun memantik reaksi dari kalangan DPRD Bali. “Kejadian seperti ini sudah berulang kali terjadi, dan dapat dikatagorikan SARA yang tentunya mengganggu suasana ditengah kebersamaan dan kepercayaan masyarakat Bali terhadap datangnya investasi dari luar Bali,” ujar Anggota Komisi II DPRD Bali, A.A. Ngurah Adhi Ardhana dikonfirmasi, Sabtu (14/4).
Adhi Ardhana menilai kesadaran investor maupun managemen kurang terhadap pelestarian budaya sebagai modal besar dari pariwisata Bali. Mengingat, pekerja Hindu Bali adalah pelaku ritual budaya masyarakat Bali.
Apa yang mereka kerjakan justru sangat berat, dan mungkin sampai tidak memiliki libur lantaran harus menjalankan pula kewajiban adat. “Kalau mau adil, semestinya pekerja Hindu Bali mendapat previllege dan gaji yang lebih karena memiliki 2 fungsi sekaligus, sebagai karyawan dan sebagai pelaku ritual budaya,” jelas Politisi PDIP asal Denpasar ini.
Menurut Adhi Ardhana, krama Bali dengan kehidupan bermasyarakat di desa adat maupun banjar adat dengan sendirinya turut menjaga kelangsungan pariwisata budaya yang menjadi kekuatan Bali selama ini. Mengingat, desa dan banjar adat adalah esensi dari pengejawantahan agama Hindu sebagaimana arti dari pariwisata budaya dalam Perda No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali.
Yakni, pariwisata budaya Bali yang berdasarkan agama Hindu. “Saya sendiri sebagai pelaku usaha akomodasi, hampir 90% tenaga kerja kami adalah tenaga lokal Hindu Bali, dan tamu-tamu repeater, yang berulang menjadi pelanggan hotel kami sangat nyaman bahkan mengenal secara kekeluargaan dengan karyawan-karyawan kami. Bukankah ini yang bisa disebut pelaksanaan melekat dari pariwisata budaya?” paparnya.
Terkait hal ini, Adhi Ardhana mendorong Dinas Tenaga Kerja dan ESDM (Disnaker) Provinsi Bali agar aktif membina semua pelaku usaha di Bali sehingga tidak melakukan hal-hal berbau SARA dalam rekrutmen tenaga kerjanya. Hal tersebut bisa diperkuat dengan pembuatan Perda tentang Ketenagakerjaan di Bali. “Agar keberpihakan terkait pelestarian budaya memiliki dasar hukum pelaksanaan, karena selama ini Bali belum punya perda ketenagakerjaan itu,” tandasnya. (Rindra Devita/balipost)