SINGARAJA, BALIPOST.com – Anyaman bambu, seperti sokasi dan tempat untuk perangkat persembahyangan banyak ditemui di pasar-pasar tradisional di Bali. Warnanya yang beraneka ragam menarik mata memandang. Namun tak banyak yang tahu, di Buleleng ada desa yang sebagian besar warganya menekuni kerajinan anyaman bambu dan sudah dilakukan secara turun temurun.
Keterampilan menganyam bambu mungkin satu-satunya ada di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar. Kerajinan ini ada sejak dahulu dan sekarang menjadi warisan leluhur yang tetap dilestarikan oleh warga di desa ini.
Komitmen ini tidak lepas karena ancaman potensi ini “dibayangi” akan menghilang akibat lemahnya pemasaran produk dan ketersedian bahan baku berupa bambu buluh yang endemis tumbuh di Desa Tigawasa. Sejak dahulu anyaman bambu dengan jenis produk sokasi dihasilkan oleh tangan-tangan terampil warga di desa ini.
Selain itu, penganyam ini juga menghasilkan gedek khas Bali yang banyak digunakan untuk bahan bangunan mulai rumah hunian, hotel dan vila. Dua produk anyaman ini pemasarannya masih terkesan lemah. P
adahal, khusus untuk sokasi dimianti pasar ekspor, tetapi karena perajin atau pengepul maish kesulitan menembus akses pasar luar negeri itu. Justru mereka terkasan dipermainkan oleh pengepul dari daerah lain yang memiliki hubungan dengan buyer asing.
Atas permasalahan ini, pemerintah Desa Tigawasa sekarang ini menggenjot pengelolaan potensi kerajinan anyaman bambu di daerahnya. Upaya itu adalah merangkul kelompok penganyam dan memfasilitasi memasarkan produk lewat Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang sudah terbentuk. Selain itu, komitmen lain adalah membina kelompok petani untuk sadar untuk kembali membudidayakan bambu buluh agar bisa mengatasi krisis bahan baku yang selama ini dialami semua penganyam Tigawasa.
Perbekel Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar Made Suadarma Yasa, Sabtu (14/4), mengatakan, satu-satunya alasan komitmen mengembangkan potensi anyaman bambu di desanya tidak lain karena keterampilan ini sudah ada sejak turun temurun. Dia hawatir jika ini tidak ditangani serius, maka warisan ini akan hilang begitu saja. Selain itu, dirinya menilai kalau penghasilan menganyam akan mampu menambah penghasilan keluarga.
Apalagi, produk anyamannya diminati tidak saja di Bali dan luar daerah, namun anyaman di desa yang masuk bagian dari Desa Bali Aga ini sudah bisa menembus pasar ekspor. “Sejak saya menjabat, anyaman ini menjadi potensi lokal yang harus dikembangkan terus agar tidak punah. Dari kualitas dan peluang pasar snagat tinggi, sehingga saya yakin dengan lewat Bumdes potensi ini akan dikembangkan,” katanya.
Khusus di bidang pemasaran, pihaknya memprogramkan agar BUMDes sendiri akan mengambil peran agar produk anyaman ini di-ekspor ke luar negeri. Dengan cara ini, pihaknya optimis akan bisa memberikan penghasilan lebih dibandingkan kalau perajin sendiri harus dikendalikan oleh pengepul dari luar daerah. “Produk warga kami memang sudah ada yang diekspor tapi itu oleh pengepul di luar daerah dan penganyam tidak mendapat keuntungan yang optimal, makanya kalau nanti lewat bumdes peran ini bisa diambil, maka keutnungan akan lebih didapat perajin kita,” jelasnya.
Terkait dukungan bahan baku, Suadarma Yasa mengatakan hal ini juga menjadi persoalan serius. Paslanya, keberadaan bambu buluh yang dari dahulu tumbuh endemis di Tigawasa, populasinya terus berkurang dan bahkan nyaris punah. Untuk itu, dia pun rutin membina kelompok petani untuk membudidayakan bambu buluh. “Tidak tahu apa alasannya mengapa bambu buluh tidak lagi ditanam, dan kalau ini dibiarkan kondisinya akan bertambah parah. Untuk itu, bagaimana lahan tidak produktif kembali ditanam bambu buluh,” jelasnya. (Mudiarta/balipost)