GIANYAR, BALIPOST.com – Pujawali di Pura Samuantiga kali ini akan jatuh pada Purnama Jiyesta, Senin (30/4). Menandakan perayaan itu, ratusan anak-anak menjalankan tradisi Ngambeng, pada Minggu (15/4).
Tradisi ini berupa mengumpulkan berbagai hasil bumi dari rumah ke rumah untuk persiapan piodalan di pura kahyangan jagat itu. Bendesa Desa Pakraman Bedulu, I Gusti Made Ngurah Serana menjelaskan, saat anak-anak ini masuk ke rumah krama menjalankan tradisi Ngambeng, juga bermakna sebagai sarana sosialisasi bahwa Pujawali akan segera digelar.
Wilayah yang disasar tradisi ini yakni Desa Pakraman Wanayu Mas, Desa Pakraman Taman, Desa Pakraman Bedulu, dan Desa Pakraman Tengkulak Kaja.
Tradisi ini digelar setiap H-15 pujawali. Biasanya berlangsung selama 1 minggu. Selama itu anak-anak akan membuat satu kelompok sebelum keliling wewidangan desa Pengemong Pura. “Paling minim, bisa terdiri dari 2 orang. Tetapi maksimal, bisa sampai belasan anak-anak,” jelasnya.
Waktu tradisi Ngambeng pun menyesuaikan dengan anak-anak. Seperti misalnya, pada hari Minggu, karena libur maka banyak yang Ngambeng pada pagi hari. Sedangkan jika hari efektif sekolah, biasanya dilakukan pada sore hari. “Anak-anak biasa jalan kaki dari rumah masing-masing ke rumah-rumah krama pengemong,” jelasnya.
Berbusana adat madya, anak-anak ini akan menyampaikan salam ‘Om Swastyastu’ kepada pemilik rumah. Oleh sebab sudah mentradisi, setiap rumah yang didatangi pun telah mempersiapkan hasil bumi yang hendak dihaturkan ke pura, seperti kelapa, daun pisang, busung, selepan, dupa, dan bahan upakara lainnya.
Jika hasil bumi sudah dirasa cukup, mereka akan menuju Pura. “Sampai di Pura, hasil bumi diletakkan di Perantenan. Lalu, anak-anak ini nunas pica yang kita sediakan,” katanya.
Dikatakan, tradisi ini juga sekaligus menjadi media pembelajaran tentang keterlibatan anak-anak dalam persiapan upacara keagamaan mulai sejak usia dini. Ia juga mengakui, banyak pengayah ngambeng yang kini mendatangi daerah hingga di luar warga Penyungsung, misalnya Ubud.
Menariknya, pengayah Ngambeng ini senantiasa disambut positif. “Karena ada beberapa pengayah yang ngambeng sampai di luar desa pengemong, kami mohon warga yang didatangi pengayah ngambeng dapat maklum,” ucapnya.
Diakui Gusti Serana, tradisi ngambeng ini pantang ditiadakan. Karena beberapa tahun silam sempat dilarang, namun terjadi musibah dan terganggunya upacara di pura. “Konon ngambeng ini sempat ditiadakan, karena berbagai pertimbangan. Namun, berbagai sarana upacara seolah serba kekurangan atau peralatan hilang tanpa pernah ditemukan. Demikian juga bagi warga yang menolak dengan kasar ngayah ngambeng diyakini dapat berdampak kurang baik,” tandasnya. (Manik Astajaya/balipost)