SEMARAPURA, BALIPOST.com – Langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Klungkung untuk menggeber dugaan kasus korupsi tak hanya terbatas pada penggunaan APBDes Satra, Kecamatan Klungkung tahun 2015 yang menjadikan Perbekel, Ni Made Ratnadi sebagai tersangka. Maupun membidik dugaan penerapan tarif kapal roro Nusa Jaya Abadi. Yang terbaru juga dugaan korupsi proyek biogas di Nusa Penida. Disebut-sebut kasus ini tinggal menetapkan tersangka yang melibatkan sejumlah oknum penjabat di lingkungan Pemkab Klungkung. Bahkan juga berpotensi merembet ke oknum dewan.
Menurut Kajari Klungkung, Syiful Alam melalui Kasi Pidsus, Meyer Volmar Simanjuntak, Minggu (22/4), penyelidikan dugaan kasus ini bukan baru berlangsung. Namun sudah sejak 2016. Proyek tersebut tersebar di Desa Kutampi Kaler, Sakti dan Klumpu dengan total nilai Rp 890 juta. Sesuai hasil pengecekan dari 40 titik, yang dikerjakan hanya 38 titik dan seluruhnya mangkrak. Sementara sisanya lagi dua titik laporannya dibuat fiktif. “Kami sudah periksa sekitar 70 saksi. Ada dari penerima, pejabat, maupun pemborong,” sebutnya.
Dari itu, pihaknya mengaku telah mengantongi nama tersangka yang merupakan oknum pejabat. Hanya saja untuk namanya belum bisa disampaikan dengan alasan masih menunggu hasil penghitungan kerugian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), apakah secara total cost atau real cost. Ini dijanjikan keluar akhir April ini.
Pria bermata sipit ini menyebutkan proyek yang berjalan tahun 2014 itu dikelola Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa dan KB yang kini menjadi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Pengendalian Penduduk dan KB. Status tersangka juga berpotensi menjerat oknum anggota dewan Klungkung yang kala itu disebut-sebut sebagai pelaksana proyek.
”Sesuai hasil penyelidikan, proyek itu tidak sesuai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk tehknis. Bahkan beberapa kreteria dalam petunjuk itu diabaikan alias dihilangkan. Yang jelas kami menemukan adanya perbuatan melawan hukum. Untuk pengumuman tersangka, tunggulah sampai Mei,” katanya.
Disampaikan lebih lanjut, anggaran proyek yang diperuntukan warga miskin itu bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan pendampingan dari pemkab sebesar 10 persen. Munculnya bau amis proyek ini berawal dari hasil pemeriksaan BPK. (sosiawan/balipost)