DENPASAR, BALIPOST.com – Pembahasan ranperda tentang atraksi budaya tradisional Bali tetap akan dilanjutkan. Kendati, sempat disebutkan bila ada materi yang tumpang tindih dengan Perda No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Selain itu, disebutkannya tabuh rah atau sabungan ayam sebagai salah satu jenis atraksi budaya juga sempat menuai pro dan kontra.
Ketua Pansus Ranperda Atraksi Budaya Tradisional Bali, I Wayan Gunawan dikonfirmasi, Senin (23/4) mengatakan, materi yang dikatakan tumpang tindih sebetulnya adalah ketentuan umum. “Misalnya, apa yang disebut kebudayaan, desa pakraman, pariwisata, kan memang ada duplikasi semacam itu. Duplikasi yang berkaitan dengan atraksi budaya di Perda 2/2012 belum cukup diatur,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Gunawan, ada tawaran untuk menginventarisasi atraksi budaya yang ada di Bali. Termasuk mengenai tata kelola dan pengelolaannya, sehingga ranperda ini bisa dilanjutkan pembahasannya. Kalaupun ada revisi Perda 2/2012, maka materi terkait atraksi budaya dalam perda itu yang harus dikeluarkan.
“Kalau kita telisik, pelajari, dalami Perda 2/2012, judulnya luas melebar. Substansi isinya tidak nyambung sebenarnya. Sasarannya apa, arahnya apa kan nggak jelas. Kalau ini (ranperda) atraksi budaya tradisional Bali, mungkin akan ditambahkan sebagai komoditas daya tarik pariwisata,” jelas Politisi Golkar ini.
Gunawan menambahkan, ranperda atraksi budaya tradisional Bali juga akan mempertajam domain sakral dan profan. Dimulai dengan menginventarisasi mana yang dimaksud atraksi sakral, mana atraksi profan. Hal ini pun menjawab tentang tabuh rah yang dalam konteks tradisi keagamaan, tetap masuk sebagai atraksi budaya.
“Logika sederhana dari konteks hukum dalam prosedur pembuatan ranperda, satu hal yang penting, tidak boleh bertentangan dengan aturan diatasnya. Tabuh rah dalam konteks tradisi keagamaan itu tetap masuk. Tapi sabungan ayam yang masuk katagori judi, tidak ada pasal yang mengatur tentang itu,” paparnya.
Menurut Gunawan, keberadaan ranperda bertujuan untuk melestarikan atraksi budaya itu sendiri. Kemudian memberikan perlindungan, serta memelihara kekeramatan dan sakralisasinya.
Sementara itu, Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik dan Ranperda Atraksi Budaya Tradisional Bali, A.A. Gede Raka mengatakan penambahan atraksi budaya sebagai komoditas daya tarik wisata akan memperjelas posisi atraksi budaya itu. Yakni, diperuntukkan untuk pariwisata karena Bali memang sudah tidak bisa lepas dari kehidupan pariwisata.
“Buktinya Bom Bali I, Bom Bali II, dan kemarin Gunung Agung meletus, ekonomi kita lumpuh. Berarti itu sebagai tanda, indikator bahwa kita sudah bergantung pada pariwisata. Sekarang, apa yang nanti dibuat dalam perda, dalam pasal-pasalnya, itu sesungguhnya akan menguatkan dan memberikan perlindungan,” ujar akademisi Universitas Warmadewa ini.
Agung Raka menambahkan, ranperda juga akan memberikan jaminan atas kesenian-kesenian Bali yang sering diklaim oleh negara lain. Setelah menjadi perda, akan tampak pula mana yang disebut kesenian sakral dan mana yang profan. “Sehingga kalau ada orang atau negara lain yang mengklaim, seperti pendet dulu diklaim, itu kita punya kekuatan karena sudah ada di perda,” jelasnya. (Rindra Devita/balipost)