Sejumlah wisatawan mancanegara sedang berjalan-jalan di Kuta. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memang selalu menduduki peringkat 1 World Top Destination. Hal ini tidak terlepas dari “taksu” yang dimiliki dan keindahan alam serta budayanya.

Namun, keberhasilan meraih posisi pertama itu tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat atau krama Bali, khususnya umat Hindu sebagai pendukung budaya Bali yang bersumber dari nilai-nilai luhur Hindu. Kondisi ini pun diakui pengamat pariwisata, Drs. Ec. I Putu Anom, B.Sc., M.Par.

Ia mengatakan ada beberapa faktor penyebab pariwisata Bali tidak memberikan vibrasi pada alam dan krama Bali. Salah satunya, sebagian besar industri pariwisata skala menengah ke atas dimiliki oleh investor luar Bali. Akibatnya, pendapatan sektor pariwisata kembali mengalir ke luar Bali.

Masyarakat lokal Bali kebanyakan hanya sebatas sebagai karyawan yang menduduki jabatan level menengah ke bawah. Selain itu, produk hasil pertanian dalam arti luas, yang mencakup pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan, serta hasil kerajinan masyarakat lokal Bali belum banyak terserap oleh industri pariwisata. Baik karena kualitas produk yang belum memadai sebagai akibat masih lemahnya pengelolaan pasca panen, maupun masih rendahnya kualitas produk kerajinan, serta kurangnya akses ke pihak industri pariwisata. “Selain itu juga, membanjirnya produk luar Bali dan luar negeri tentu menambah persaingan bagi kerajinan masyarakat lokal kita,” tandas Putu Anom, Senin (23/4).

Baca juga:  Penerbangan di Lombok dan Bali Normal

Dikatakan, kepedulian industri pariwisata untuk memanfaatkan atau membeli hasil produksi masyarakat lokal untuk lebih lanjut ditawarkan atau dikonsumsi wisatawan masih rendah. Padahal, mantan Dekan Fakultas Pariwisata Unud ini mengakui bahwa hasil produksi masyarakat lokal sejatinya sudah memenuhi standar dan bahkan diminati wisatawan. “Seperti halnya buah-buah lokal yang sesuai musimnya yang sebenarnya sangat cocok ditawarkan kepada wisatawan. Seperti yang dilakukan di luar negeri, industri pariwisata lebih banyak menawarkan produk-produk lokal kepada wisatawan dan justru sebenarnya wisatawan menginginkan mengkonsumsi produk-produk lokal yang tidak ada di negara atau daerah asalnya,” kata Ketua ICPI (Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia) Wilayah Bali ini.

Baca juga:  Kembali, Gempabumi Dirasakan di Karangasem dan Lombok Utara

Tidak hanya itu, ketatnya persaingan memperoleh pekerjaan di industri pariwisata di Bali, diakuinya karena Bali telah dibanjiri pekerja dari luar Bali. Padahal, sejatinya kualitas SDM Bali masih bisa diandalkan, baik dari prestasi kerja maupun keunggulan etika dan kejujurannya. “Tetapi disinilah sering muncul praktek kolusi dalam merebut peluang kerja. Seperti sebagai Pemandu Wisata yang sebenarnya sangat tepat dilakoni masyarakat Bali, sebagai pendukung budaya Bali yang tentu lebih paham akan potensi pariwisata Bali dan tentu profesional menjelaskan kepada wisatawan,” ujarnya.

Baca juga:  Perbekel Diminta Tak Gunakan DD untuk Jalan-jalan

Faktor lainnya, yaitu masih lemahnya kebijakan pemerintah untuk memberi kemudahan peluang usaha maupun peluang kerja bagi masyarakat lokal untuk berkiprah di sektor pariwisata. Padahal, kebijakan pemerintah daerah untuk mendidik generasi muda lokal Bali agar mampu menjadi pemandu wisata yang handal sangat diharapkan. “Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan masyarakat lokal Bali kurang menikmati gemerincing dollar dari sektor pariwisata. Sehingga, kesejahteraan masyarakat Bali masih kurang dari sektor hasil pariwisata,” pungkas Anggota BPPD (Badan Promosi Pariwisata Daerah) Kabupaten Badung tersebut. (Winatha/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *