JAKARTA, BALIPOST.com – Setya Novanto, terdakwa kasus korupsi pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) senilai Rp 5,9 triliun divonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp 500 juta subsider kurungan 3 bulan.
Selain itu, mantan Ketua DPR RI dan mantan Ketua Umum Partai Golkar itu dijatuhi pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar US 7,3 juta dollar Amerika Serikat (AS) dikurangi uang yang telah dikembalikan sebanyak Rp5 miliar subsider 2 tahun kurungan.
Novanto juga masih dikenakan pidana tambahan berupa sanksi dicabut hak politiknya untuk 5 tahun ke depan. “Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Setya Novanto selama 15 tahun denda Rp 500 juta subsider 3 bulan,” ucap Ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakan vonis Novanto, Jakarta Pusat, Selasa (24/4).
Majelis hakim menyatakan Novanto terbukti bersalah malakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewengannya sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pertimbangan memberatkan, perbuatan Novanto bertentangan dengan program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan juga pelaku koruptif yang dilakukannya masuk dalam kategori kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Sedangkan pertimbangan meringankan, ia berlaku sopan selama persidangan.
Rangkaian perbuatan menyatakan terdakwa secara bersama-sama tersebut, telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp2.314.904.234.275,39 (lebih dari Rp 2,3 triliun) atau setidak-tidaknya sejumlah itu sesuai Laporan Hasil Audit dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dilakukan Ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia Nomor: SR-338/D6/01/2016 tanggal 11 Mei 2016 atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Paket Penerapan KTP Berbasis NIK Secara Nasional tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Novanto disebut hakim terbukti melakukan berbagai pertemuan yang membahas e-KTP. Bahkan, ia memperkenalkan anggota konsorsium seperti Andi Agustinus, Johannes Marliem, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Paulus Tannos kepada Made Oka Masagung yang disebut sebagai perwakilannya.
Kepada para ‘perwakilannya itu Novanto meminta mereka memberikan fee sebesar 5 persen kepada dirinya dan anggota DPR RI yang disampaikan melalui Made Oka Masagung. Hakim anggota Emilia melanjutkan, Novanto terbukti menerima uang sebesar US$7,3 juta melalui Made Oka dan juga Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang tak lain adalah keponakan Novanto.
Pertama sejumlah US$3,8 juta dari Anang Sugiana Sudihardjo yang dananya diambilkan dari bagian pembayaran PT Quadra Solution kepada Johannes Marliem melalui perusahaan Biomorf Mauritius dan PT Biomorf Lone Indonesia dengan cara mentransfer ke rekening Made Oka Masagung di Singapura. Kedua melalui Irvanto sebesar US$3,5 juta.
Berkaitan dengan jam tangan merk Richard Mille pemberian Johannes Marliem dan juga Andi Narogong seharga Rp1,3 miliar, majelis hakim memutuskan tidak lagi dibebankan kepada Novanto. Menurut majelis hakim, jam tangan itu sudah dikembalikan setelah pemberitaan kasus e-KTP ramai di publik.
Perbuatan korupsi Novanto dilakukan pada saat dirinya menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI. Karenanya, majelis juga memberi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun.
Sedangkan mengenai permintaan Novanto sebagai justice collaborator, hakim tidak mempertimbangkannya. Sebab, permohonannya sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama dengan aparat penegak hukum dinyatakan tidak memenuhi kualifikasi. (Hardianto/balipost)