AMLAPURA, BALIPOST.com – Sewaktu terjadi erupsi Gunung Agung, banyak warga Karangasem berlomba-lomba untuk menjadi transmigran. Tujuannya, agar bisa tetap menyambung hidup di tanah rantau, lantaran tak ada yang bisa dikerjakan di Karangasem. Jatah 15 KK transmigran untuk Bali pun sepenuhnya diberikan untuk Karangasem. Tetapi, warga yang sudah terdaftar, tiba-tiba menolak berangkat, lantaran lokasi tujuannya dipisah jadi tiga.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Karangasem, I Nyoman Suradnya, Rabu (25/4), mengatakan sejak dibuka pendaftaran untuk program transmigrasi tahun ini, warga sangat antusias. Terlebih, dalam situasi ancaman bencana erupsi Gunung Agung. Tercatat, ada sebanyak 37 KK dari berbagai daerah yang mendaftar untuk menjadi transmigran. Tetapi, yang bisa diakomodir hanya 15 KK, karena jatah dari pusat hanya sebanyak itu untuk Bali.
“Padahal, waktu itu ibu bupati sendiri yang harus meminta jatah itu seluruhnya buat Karangasem, kepada Gubernur Bali. Sehingga bisa seluruhnya diberikan untuk Karangasem,” kata Suradnya.
Setelah ditentukan yang berangkat 15 KK, ke tiga tempat berbeda yakni ke Sulawesi Tengah, Utara dan Barat, ke 15 KK yang masih dalam ikatan keluarga ini, tak mau berangkat. Para transmigran ini ingin menuju lokasi transmigran untuk satu tujuan yang sama. “Intinya mereka ini tak mau berpencar. Karena batal berangkat, kuota tahun ini sebanyak 15 KK kami kembalikan lagi ke provinsi,” ujar Suradnya.
Situasi yang terjadi saat ini berbanding terbalik, saat awal tahun. Saat itu, jatah 15 KK untuk transmigran tahun ini dinilai terlalu kecil untuk kebutuhan warga yang berlomba-lomba ingin menjadi transmigran. Tetapi, seiring semakin menurunnya aktivitas Gunung Agung, keinginan yang menggebu-gebu untuk menjadi transmigran nampaknya sudah semakin berkurang.
“Nampaknya karena melihat situasi Gunung Agung mulai normal, warga kemudian enggan untuk mengikuti program transmigrasi dan memilih tetap menetap di kampung halaman,” tegas Suradnya.
Program transmigrasi dulu menjadi salah satu opsi pemerintah daerah menangani ratusan ribu pengungsi. Sebab, banyaknya pengungsi membuat pemerintah kala itu kesulitan melakukan penanganan di lapangan. Opsi menjadi transmigran ini sempat jadi perdebatan di Karangasem.
Pasebaya Gunung Agung waktu itu tegas menolak opsi ini. Sebab, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah pengungsi. Menurut Ketua Pasebaya Gunung Agung, Gede Pawana, saat itu mengatakan sebaiknya solusi yang lebih tepat adalah dengan membuatkan rumah singgah di areal yang aman. (bagiarta/balipost)