Petani di Desa Belatungan menggunakan kotoran kambing sebagai pupuk untuk meningkatkan produksi buah kopi. (BP/san)

TABANAN, BALIPOST.com – Selama 10 tahun petani kopi di Desa Belatungan, Pupuan menerapkan sistem organik dalam pemeliharaan tanaman kopinya. Sistem organik yang diterapkan adalah menggunakan pupuk organik kotoran kambing yang dipercaya bisa meningkatkan produksi buah kopi serta menjaga keseimbangan unsur hara tanah dalam jangka waktu yang lama.

Perbekel Belatungan, I Dewa Nyoman Widisucipta, Kamis (26/4) mengatakan total luas lahan perkebunan di Belatungan kurang lebih 653 hektar yang kebanyakan ditanam kopi jenis robusta secara tumpang sari. Menurutnya sistem organik diterapkan oleh petani kopi dimulai sejak 10 tahun lalu. “Awalnya karena pupuk pabrikan mahal, jadi petani mencari cara lain. Mereka menggantinya dengan pupuk organik dalam hal ini dari kotoran kambing,” ujarnya.

Baca juga:  Munduk Temu Diprediksikan Panen 1000 Ton Kopi Tahun 2018

Pupuk organik kotoran kambing ini, kata Widisucipta, selain lebih murah dari segi harga, kualitasnya pada produksi buah juga tidak kalah dari pupuk pabrikan. Selain itu kelebihan lainnya, unzur hara tanah bisa lebih terjaga keseimbangannya.

Ia melanjutkan saat ini melalui Bumdes, kopi yang dihasilkan oleh petani diolah menjadi kopi bubuk. Saat ini diakuinya penjualan masih untuk kebutuhan lokal. Namun ke depan penjualan kopi bubuk asal Desa Belatungan ini akan difasilitasi penjualannya lewat Bumda Tabanan. “Jika sudah terfasilitasi barulah akan dikembangkan ide produk lainnya, seperti kopi jahe atau kopi pandan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua BUMDes Widya Parta, Desa Belatungan, Desak Putu Sikiasih mengatakan ciri khas kopi robusta yang ditawarkan adalah rasa kopi yang dihasilkan dari pertanian organik serta ditanam di dataran tinggi. Produksi kopi di Desa Belatungan lanjut Desak Sikiasih mampu menghasilkan rata-rata hingga 3 ton per hektar untuk kualitas berat kering.

Baca juga:  Antisipasi Dampak Gangguan Satelit Telkom-1, BNI Operasikan Mobil BLG

Katanya, dari jumlah tersebut, hampir semuanya terserap oleh BUMDes dengan produksi dalam bentuk olahan mencapai 1 kwintal per minggu. Harga untuk hasil olahan dalam bentuk bubuk ini dibandrol hingga Rp 30 ribu per kg, sedangkan dalam bentuk kopi kualitas yang
sudah disangrai mencapai Rp 50 ribu per kg, dan dalam bentuk biji (kualitas mentah) dijual Rp 26 ribu per kg.

Pemasaran kopi produksi petani Desa Belatungan melalui BUMDes ini, menurut Desak Sikiasih, sebagian besar terserap di pasar lokal meski beberapa sudah menembus pasar antarpulau. “Untuk yang antarpulau ini dibeli oleh pihak ke tiga dan kemudian menjualnya kembali ke Surabaya maupun Jakarta. Untuk kerjasama khusus lewat Bumdes masih belum ada,” ujarnya.

Baca juga:  Kasus BUMDes Toyapakeh, Merugi Tetap Bagi SHU

Selain kopi bubuk original, untuk memberikan ciri khas, Bumdes saat ini mengembangkan kopi rasa jahe maupun rasa pandan. Namun ke dua rasa ini masih belum tersedia secara kontinyunitas karena terbentur bahan baku terutama untuk pemenuhan jahe merah. “Kalau jahe merah tersedia barulah kami bisa membuat kopi rasa jahe. Ke depan akan dipikirkan bagaimana cara mengadakan kopi rasa jahe secara kontinyu,” jelas Desak Sikiasih. (Wira Sanjiwani/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *