kartu
Gubernur Bali, Made Mangku Pastika. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali, Made Mangku Pastika, sepakat jika anggaran untuk Bus Trans Sarbagita yang selama ini mubazir diarahkan untuk pertanian. Yakni, membeli hasil pertanian petani lokal.

Mengingat, operasional bus tidak berjalan maksimal lantaran orang Bali pada umumnya enggan naik angkutan umum. “Tidak semua program itu mesti berhasil dengan baik. Ini program given dari pusat, bisnya semua dikasih oleh pusat. Kita tidak beli,” katanya.

Ia menyadari petani hingga kini kesulitan memasarkan hasil pertaniannya ke sektor pariwisata. Sebab, pelaku pariwisata seperti hotel tidak langsung membayar produk pertanian yang dibeli dari petani lokal. “Petani menghasilkan, dijual ke hotel, ini bayarnya 3 bulan. Ini kan petani begitu jual perlu duit, untuk makan, menyekolahkan anak, dan lain-lain. Kalau (setelah) 3 bulan baru dibayar, terus 3 bulan ini bagaimana dia,” ujar Gubernur, Kamis (26/4).

Baca juga:  NIK Diintegrasikan Jadi NPWP

Menurut Pastika, pemerintah sebetulnya memungkinkan untuk menjembatani masalah yang dihadapi petani. Yakni dengan membuat perusahaan atau instansi semacam Bulog.

Dalam hal ini, perusahaan tersebut yang menampung hasil pertanian petani. Namun, tetap pemerintah yang membayar petani dan kemudian menjual hasil pertanian itu ke sektor pariwisata. “Mungkin bukan pemerintah langsung, dibentuklah satu perusahaan misalnya BUMD, atau ada swasta yang punya modal banyak, itu harus diberikan ijin. Kira-kira solusinya begitu,” jelasnya.

Pastika menambahkan, potensi pertanian Bali sebetulnya tinggi untuk bisa menghidupi pariwisata. Setiap harinya, ada 5 juta orang yakni 4,2 juta penduduk Bali dan sisanya wisatawan berada di Pulau Dewata.

Untuk telur saja, kebutuhannya bisa mencapai 1 juta butir. Namun ternyata lebih banyak didatangkan dari luar Bali. Hal ini karena kembali lagi, tidak semua orang Bali mau menjadi petani. Saat ini saja, dikatakan tidak ada petani yang berumur dibawah 50 tahun. “Semuanya sudah di atas 50 tahun, sebentar lagi punah itu. Kenapa tidak mau? karena daya tarik pariwisata tinggi. Orang mendingan kerja di hotel, wangi, walaupun jadi Cleaning Service tetap disebut kerja. Kalau jadi petani, tidak kerja. Ini masalah mindset,” jelasnya.

Baca juga:  Tak Bermasker, Penumpang Kendaraan dari Surabaya Disanksi

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPRD Bali, I Nengah Tamba mengusulkan agar anggaran operasional Bus Trans Sarbagita dialihkan untuk sektor pertanian. Yakni, membentuk konsorsium yang akan membuat cool storage untuk menyimpan produksi buah-buahan lokal Bali. “Ide saya, kita punya Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Pertanian, Perkebunan dan juga Perusda agar membentuk konsorsium yang dimodali Pemprov dengan membuat PT baru, untuk bisa membeli seluruh hasil produksi pertanian se-Bali,” ujarnya.

Baca juga:  Tenaga Kontrak Pemkab Diringkus Terlibat Kasus Narkoba

Menurut Tamba, petani selama ini tidak bergairah lantaran harga anjlok saat panen raya. Terutama petani buah lokal seperti rambutan, mangga, jeruk, durian, dan lainnya.

Jika terbentuk konsorsium, dinas terkait bertugas untuk melakukan pemetaan secara kongkrit mengenai hasil panen petani di setiap kabupaten. Setelah itu membelinya dengan harga pantas, baru kemudian mendistribusikannya.

Tamba menambahkan, Bali memiliki potensi pasar yang jelas. Mengingat, pulau ini dihuni oleh mayoritas umat Hindu yang selalu membutuhkan buah untuk kepentingan upacara agama. Seperti misalnya, hari raya purnama, tilem, tumpek, galungan, kuningan dan nyepi. Belum lagi untuk upacara pernikahan, kematian, dan lainnya. Kebutuhan buah bisa mencapai berton-ton. (Rindra Devita/balipost)

 

BAGIKAN

1 KOMENTAR

  1. Untuk mengatasi harga produk yg anjlok ketika musim panen, secara teori ide ini sangat tepat dengan membentuk semacam BUMD yg secara khusus menangani masalah ini. Namun patut diingat, SDM yg bertugas menangani masalah ini tetap harus berintegritas, jujur, berkomitmen dan bertanggung jawab. Sering terjadi produk pertanian dg kualitas rendah tetap dibeli dg harga standar. tentu dg sejumlah imbalan dari petani (kongkalikong). Alhasil produk ini akan ditolak pembeli (hotel) yg menerapkan standar tertentu baik kualitas maupun ukuran (size) dari produk yg ditawarkan. Dapat ditebak, BUMD akan merugi karena barang menumpuk di gudang, dan modal BUMD akan susut dan habis untuk membeli produk pertanian dari para petani. Ujungnya, dana habis dan yg kaya adalah petugas BUMD tsb. Mudah-mudahan tidak demikian adanya. Mari kita lihat bersama kelanjutannya.

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *