SINGKAWANG, BALIPOST.com – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Oesman Sapta Odang (OSO) optimistis perekonomian Indonesia akan bangkit di tahun 2030. Keyakinan itu dilandasi dengan kebijakan pemerintahan saat ini.
Ia menilai pemerintah yang fokus pada pembangunan infrastruktur di daerah bisa membuat target itu terwujud. Menurutnya, apabila kebijakan ini terus dilakukan secara berkelanjutan maka jalur lalulintas perekonomian di seluruh Indonesia akan saling terhubung. “Saya sependapat bahwa infrastuktur harus di bangun dalam rangka memudahkan jalur lalu lintas perkonomian dari Papua sampai ke Aceh dibangun infrastruktur,” kata Oesman Sapta dalam kunjungan kerja ke Kota Singkawang, Kalimantan Barat, Sabtu (28/4).
Bahkan, Oesman Sapta berpandangan kebijakan pemerintahan yang menekankan pada pembangunan infrastruktur di daerah tersebut bisa mendongkrak peringkat Indonesia di dunia menjadi 5 besar di dunia. “Apabila sistem perekonomian dilakukan secara pasti, Indonesia akan bangkit di tahun 2030 menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke 5 di dunia. Karena kita memang punya source yang luar biasa di dunia,” katanya.
Dia mencontoh, kekayaan alam Indonesia berupa batu bauksit. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil bauksit yang menjadi bahan baku utama membuat aluminium itu. Dan salah satu daerahnya adalah Singkawang, Kalimantan Barat.
Masih banyak sumber daya alam lainnya, yang menurut Oesman Sapta belum dikelola secara baik dan menjadi modal besar bagi bangsa Indonesia untuk menjadi maju dan makmur perekonimiannya menyaingi bangsa-bangsa lain di dunia. Oesman Sapta mengaku, tugas memajukan masyakarat di daerah bukan hanya ada di pundak pemerintah, tetapi juga tanggung jawab lembaga lainnya, termasuk DPD yang memang dalam pembentukkannya ditujukan untuk memberi perhatian kepada daerah.
Namun dia menyayangkan, dalam pelaksanaannya kerap dihambat oleh rakyat Indonesia sendiri. Proses demokrasi yang harusnya bertujuan untuk mendukung kemajuan ekonomi rakyat, masih terhambat perdebatan hal-hal kecil karena ego kelompoknya. “Zaman penjajahan itu tidak ada satu orangpun yang tanya agamamu apa? Sukumu apa? Partaimu apa? Nggak ada. Yang ada tekad anak bangsa, kami tidak mau diijajah dan kami mau merdeka,” kritiknya. (Hardianto/balipost)