DENPASAR, BALIPOST.com – Kakao Bali agaknya mulai diminati pasar internasional. Buktinya, negara yang tertarik membeli kakao Bali makin banyak.
Tepatnya, pada Agustus 2018, kakao Bali akan diekspor ke Jepang dan Verona, Italia. Jumlahnya sebanyak 200 ton.
Dua negara tersebut menginginkan kakao Bali. Sementara Amerika yang merupakan pasar utama kakao Bali yang dikhawatirkan terpengaruh perang dagang AS-Cina, nyatanya tidak terpengaruh.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan, Perkebunan dan Hortikultura (TPPH) Provinsi Bali, Lanang Aryawan mengatakan, pasar kakao Bali tidak hanya Amerika Serikat, tapi juga Eropa. Seperti Belgia, Belanda, Prancis.
Negara-negara itu merupakan negara pengimpor kakao yang sangat besar. Negara tersebut juga merupakan negara penghasil cokelat. Selain itu juga ada pasar Asia, seperti Jepang, Malaysia, Cina. “Amerika tidak stop. Amerika dan Eropa itu kebutuhan kakaonya tinggi,” kata Lanang Aryawan.
Berdasarkan data statistik, 98,41 persen kakao Bali diekspor ke Amerika Serikat. Ekspor kakao Bali pada Januari 2018 mengalami peningakatan 1.792 persen dibandingkan Januari 2017. Sedangkan dibandingkan Desember 2017, ekspor kakao juga naik 1.216 persen.
Pada Januari 2017 ekspor kakao hanya USD 68.647 dan Desember 2017 mencapai USD 9.731. Namun pada Januari 2018, ekspor komoditi kakao mencapai USD 1.299.440.
Diakui kendala yang dihadapi hingga saat ini masih minimnya kakao yang difermentasi. Sementara kebutuhan kakao dunia yang jumlahnya 3,5 juta ton per tahun membutuhkan kakao fermentasi. Sedangkan Indonesia hanya bisa memenuhi 12-13 persennya, itupun kakao nonfermentasi.
Bali sendiri menghasilkan kakao 6.800 ton dari 14.000 ha lahan kakao di Bali. Dari 6.800 ton, tahun 2016 kebutuhan kakao fermentasi baru bisa dipenuhi 60 ton.
Pada 2017 baru bisa dipenuhi 400 ton. Di 2018, ia menargetkan tidak kurang dari 1.000 ton kakao Bali bisa difermentasi.
Belum maksimalnya kakao yang bisa difermentasi diakui karena sarana fermentasi belum mampu terpenuhi. “Sarana-sarana ini tidak mudah untuk difasilitasi kepada petani. Karena untuk satu kali fermentasi satu peti, itu ada di angka 40 kg. Ini membutuhkan banyak sekali sarana,” ungkapnya.
Ia berharap sinergi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten betul-betul menjadi kekuatan yang kuat untuk bisa memfasilitasi potensi ini. Contohnya Jembrana, salah satu kabupaten yang konsen mengembangkan potensi daerahnya.
Sehingga Jembrana mampu menghasilkan kakao yang cukup bagus dan mampu menghasilkan hasil yang bagus juga. Ia berharap Tabanan, yang merupakan salah satu penghasil kakao terbesar di Bali bisa memaksimalkan menggarap lahan kakaonya. “Dua kabupaten ini (Jembrana dan Tabanan) menyumbang produksi kakao 90 persen dari total produksi kakao Bali,” pungkasnya.
Tabanan diakui luas lahan kakaonya mulai menyusut. Saat ini berada di kisaran 2.500-2.700 ha. Sementara Jembrana 3.000 ha. “Dulunya Tabanan cukup luas, tapi mulai menyusut. Sekarang diambil alih luasannya di Jembrana,” ungkapnya.
Namun meski menyusut, masih ada potensi pengembangan lahan kakao seluas 8.000 – 10.000 ha. Ia berharap luasan kakao terus berkembang sekaligus dapat meningkatkan produksi. (Citta Maya/balipost)