TABANAN, BALIPOST.com – Populasi burung Punglor atau juga dikenal dengan Anis Merah di Desa Munduk Temu Pupuan keberadaannya cukup banyak. Meski burung ini belum termasuk burung yang dilindungi, namun sejak dini Munduk Temu mengeluarkan aturan pembatasan pengambilan anak burung ini dari alam setiap lima tahun sekali.
Pelestarian burung ini bukan tanpa sebab. Populasi burung Punglor di alam bebas berguna untuk mengendalikan populasi hama ulat serta menjadi indikator lingkungan masih asri dan belum tercemar zat kimia.
Perbekel Munduk Temu, I Nyoman Wintara, Selasa (1/5) mengatakan peraturan ini mulai berlaku pada tahun 2018. Dan akan kembali diterapkan lima tahun kemudian yaitu tahun 2023. “Mengapa lima tahun sekali karena dari perkiraan populasi dijaga setiap lima tahun sekali ini akan ada ribuan anakan burung punglor yang dewasa nantinya bertelur kembali. Sehingga populasi yang dijaga ini tetap bisa menyeimbangkan jumlahnya di alam,” ujar Wintara.
Secara ekonomi, burung Punglor, lanjut Wintara, menjadi salah satu pemasukan dari petani di Munduk Temu. Sebab, satu anakan burung Punglor yang belum bisa makan sendiri saja harganya mencapai Rp 300 ribu per ekor. Jika anakan sudah bisa makan sendiri, harganya bisa mencapai Rp 700 ribu per ekor.
Burung Punglor sendiri sangat disukai pencinta burung karena kicauannya dan kerap diikutkan lomba kicau burung sehingga peminat untuk membeli burung ini masih tinggi. Karena harga yang mahal membuat banyak masyarakat yang berburu burung Punglor saat masih menjadi anakan di Munduk Temu.
Inilah yang hendak dikendalikan pihak desa Munduk Temu. Sebab, bagaimanapun juga keberadaan burung Punglor di alam liar sangat membantu menurunkan populasi hama ulat serta sebagai indikator lingkungan tersebut masih alami. “Kami tidak mau burung ini sampai punah. Karenanya kami keluarkan Perdes,” ujar Wintara.
Bagi pelanggar, lanjut Wintara, akan dipasang fotonya di media sosial Desa Dinas. Sementara untuk masing-masing Desa Pekraman di Munduk Temu yaitu Desa Adat Munduk Temu, Desa Adat Kebonjero dan Desa Adat Anggasari sudah menerapkan sanksi denda yaitu Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta bagi pelanggar dikalikan jumlah burung yang diambil dari alam liar.
Selain melarang perburuan burung Punglor setiap lima tahun sekali, langkah lain yang dilakukan desa adalah mendorong petani untuk mulai menerapkan sistem pertanian organik. Sebab, burung Punglor hanya mampu hidup di daerah yang masih alami.
Menurut Wintara saat ini ada sekitar 14 kelompok tani yang mulai menerapkan pertanian organik secara bertahap. “Memang tidak bisa langsung organik tetapi mulai perlahan. Kami ajak dulu kelompok tani. Nanti kalau sudah berhasil secara perlahan mengajak subak-subak yang ada di Munduk Temu,” papar Wintara. (Wira Sanjiwani/balipost)