DENPASAR, BALIPOST.com – Tingginya jumlah rumah sakit, puskesmas, dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lainnya di Bali menyebabkan sampah medis yang dihasilkan cukup tinggi. Sehari, 3 ton sampah medis padat dihasilkan Fasyankes yang ada di Bali.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr. Ketut Suarjaya, MPPM, di Bali ada 60 rumah sakit, 120 puskesmas, dan 200 klinik swasta. Semua itu tentunya menghasilkan limbah medis cair maupun padat.
Per harinya 3 ton lebih limbah medis padat dihasilkan dari fasyankes yang ada di Bali. Rinciannya, Puskesmas rawat inap menghasilkan limbah medis padat rata-rata 0,8 kg per tempat tidur. Sehingga setiap puskesmas menghasilkan 15-20 kg limbah medis padat per harinya.
Bisa dihitung, jika limbah yang dihasilkan sehari 3 ton sementara biaya pengolahan limbah Rp 20.000 per kg, berarti per hari Rp 60 juta dihabiskan untuk mengolah limbah medis.
Sedangkan limbah medis cair umumnya diolah dengan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang ada di masing-masing RS dan fasyankes lain. “Semua fasyankes wajib punya IPAL,” tegasnya.
Menurutnya, semua puskesmas telah memiliki IPAL karena itu merupakan persyaratan wajib. Sejak tahun 2017, puskesmas telah melengkapi diri dengan IPAL.
Sementara limbah medis padat diolah dengan insenerasi tanpa asap. Saat ini di Bali belum ada tempat pengolahan limbah padat. Karena terkendala perizinan yang ketat di Kementerian Lingkungan Hidup. Maka dari itu, pengelolaan limbah medis dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
RS pada umumnya menggunakan incenerator dan puskesmas bekerjasama dengan RS dalam pengolahan limbah medis padat. Namun sekarang sebagian besar RS tidak memanfaatkan incenerator. Di samping karena suhu inceneratornya tidak memenuhi standar, limbah residunya yang dihasilkan juga belum terstandar. “Itu harus ada standar bakunya seperti residunya harus sekitar 7-10 persen, dan harus ramah lingkungan, itu standarnya dari Kementerian Lingkungan Hidup,” jelasnya.
Ketua Persi Bali dr. I Gede Wiryana Patra Jaya, M.Kes. mengatakan, mengolah limbah medis membuat rumah sakit serba salah. Karena selain mahal, masyarakat sekitar rumah sakit juga merasa terganggu dengan aktivitas pengolahan sampah medis.
Di sisi lain, RS wajib mengelola limbah medisnya sesuai Permenkes 56. Dalam mengelola limba medis padat, RS bekerjasama dengan pihak ketiga yang mengolahnya di Jawa Timur dan Jawa Barat.
Hal ini menyebabkan biaya pengolahan limbah yang dikeluarkan masing-masing RS menjadi tinggi. Ditambah lagi, tidak setiap hari rekanan tersebut mengambil sampah medis dari rumah sakit. Maka dari itu rumah sakit yang tidak memiliki alat pengolah limbah, harus memiliki tempat penampungan sementara.
Dokter Patra juga mengkhawatirkan pengangkutan sampah medis dari Bali ke Jawa yang akan menyebabkan kuman atau virus yang ada pada sampah tersebut beterbangan ketika diangkut. Hal ini tidak aman bagi kesehatan.
Maka dari itu, ia mendorong pemerintah yaitu Dinas Lingkungan Hidup untuk membangun pengolahan limbah medis padat. “Itu yang kita dorong, kami minta LH (Lingkungan Hidup) untuk fasilitas pengolahan agar ada di Bali. Entah pemerintah yang buat atau dikerjasamakan dengan pihak ketiga,” ujarnya belum lama ini.
Lokasi pengolahan telah ditetapkan yaitu di Pengambengan Negara dan Celukan Bawang Singaraja. (Citta Maya/balipost)
Belum Ada yang Memenuhi Syarat
Di Indonesia, fasyankes menghasilkan sampah medis sekurangnya 8.000 ton. Sampah medis bukan sampah biasa, melainkan sampah infeksius, hasil dari pengobatan orang sakit. Sehingga dapat dibayangkan dampaknya bagi kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya jika sampah tersebut tidak ditangani.
Terkait tempat pengolahan limbah medis di Bali, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr. I Ketut Suarjaya, MPPM mengatakan, Jembrana adalah tempat yang direkomendasikan sesuai RTRWP untuk tempat pengolahan limbah medis. Selama ini diakui cukup banyak investor yang berminat berinvestasi dalam pengelolaan limbah medis ini. Namun belum ada yang memenuhi syarat.
“Sudah cukup banyak investor yang berminat tapi belum ada yang berhasil memperoleh ijin sesuai persyaratan. Semoga Bali segera memiliki tempat pengolahan limbah medis yang memenuhi syarat. Sehingga persoalan limbah medis segera bisa ditanggulangi,” ungkapnya.
Ketua Umum APDUPI (Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia) Saut Marpaung mengatakan, limbah medis padat bisa didaur ulang. Sampah medis yang kebanyakan terbuat dari plastik, ada yang masih memiliki nilai ekonomis. Seperti kemasan bekas obat-obatan, spuit bekas, botol bekas, botol infus, kemasan cairan asam kuat, selang, masker oksigen. Sampah itu ia beli dari rumah sakit untuk didaur ulang menjadi produk baru seperti kantong sampah medis, segel gas, ember cor, dll. Sementara limbah hasil olahan yang tidak bernilai ekonomis bisa menjadi batu bata sampah (batasam).(kmb42)