TABANAN, BALIPOST.com – Belatung atau maggot dalam pikiran masyarakat awam adalah hewan yang biasanya ditemukan di sampah maupun bangkai. Selain berfungsi sebagai pengurai, ternyata belatung ini bisa menjadi pakan alternatif untuk ikan maupun unggas.
Kandungan gizi yang ada di belatung dianggap baik bagi pertumbuhan ikan maupun unggas. Berlatar belakang hal ini, di Banjar Periyukti, Desa Wanasari Tabanan dikembangkan ternak belatung jenis BSF.
Belatung sendiri adalah salah satu bentuk dari proses metamorfosis lalat. Sebelum menjadi lalat, setelah telur maka menjadi larva dulu lalu kemudian belatung. Terdapat lebih dari 400 jenis lalat di dunia ini.
Tetapi yang dikembangkan menjadi pakan ternak adalah belatung dari jenis lalat hitam atau black soldier fly (BSF). Bukan dari lalat hijau yang membawa wabah penyakit.
Peternak belatung BSF, Hadi, mengatakan dirinya bersama beberapa timnya telah delapan bulan mengembangkan ternak belatung di Tabanan. Dalam mengembangkan ternak belatung ini pihaknya memanfaatkan sampah organik yang didapatkan dari pasar sertamengajak 50 rumah tangga untuk menyediakan sampah organik di Banjar Dauh Pala, Tabanan.
Setiap harinya belatung ditempatkan dalam wadah berukuran 1×2 meter. ‘’Untuk makanan mereka diperlukan setidaknya 40 kilogram sampah organik setiap harinya,’’ ujar Hadi.
Karenanya untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak belatung, setiap harinya diperlukan 600 kilogram sampah organik. Hadi menjelaskan dalam proses metamorfosis lalat hitam membutuhkan waktu sekitar 30-45 hari.
Adapun tahapan metamorfosinnya adalah telur, larva, belatung (larva dewasa), prepuva (kepompong), puva dan menjadi lalat. “Jika sudah dewasa lalat ini hanya bertahan hidup tujuh hari, setelah kawin mereka akan mati,” terangnya.
Karena kandungan protein tinggi, jenis belatung BSF bisa menggantikan pakan alternatif seperti tepung ikan untuk peternakan. Dengan harga yang ekonomis banyak peternak ikan maupun unggas memilih menggunakan belatung sebagai pakan pengganti.
Hadi menilai, selain menjadi pengganti pakan ternak ikan dan unggas, ternak belatung BSF ini bisa menjadi solusi bagi sampah organik yang belum teratasi. “Dalam pengembangbiakan ulat BSF ini ini tidak menimbulkan bau karena hanya mengkonsumsi limbah organik,” ujarnya.
Pihak peternak belatung BSF ini setiap harinya menjual hasil ternaknya kepada peternak burung, ayam maupun ikan. Setiap 100 gramnya dijual seharga Rp 10.000.
Mengenai ternak belatung BSF ini, Kepala Dinas Perikanan Tabanan, I Made Subagia, Selasa (8/5) mengatakan jika usaha ternak ini masih bersifat swadaya masyarakat. Namun pihak dinas terus melakukan pemantauan mengenai perkembangan ternak belatung ini. “Dari teori belatung BSF baik sebagai pakan ikan maupun unggas. Karenanya kami masih memantau perkembangan usaha ternak ini,” ujarnya.
Jika menghasilkan hasil yang baik, tentu Dinas akan melakukan adopsi maupun usulan pendanaan bagi ternak belatung BSF ini agar bisa dikembangkan lebih luas lagi. “Saat ini kami sedang memantau perkembangannya. Jika baik tentu memerlukan analisi lebih lanjut baik mengenai metode maupun modal. Kemudian baru bisa dikembangkan lebih luas lagi,” ujarnya. (Wira Sanjiwani/balipost)
Terimakasih, saya sangat senang membaca artikel ini. Sebagai referensi dan motivasi saya untuk budidaya bsf sekala rumahan.
Untuk pemasaran mungkin saat ini menjafi kendala. Dan satu lagi apakah kedepanya budidaya bsf masih menjanjikan jika banyaknya peternak bsf