SURABAYA, BALIPOST.com – Pemberantasan aksi terorisme di Indonesia tidak bisa dilakukan maksimal. Pasalnya, payung hukum yang selama ini digunakan, yakni UU tentang Antiterorisme membatasi gerak aparat keamanan dalam pemberantasan terorisme.
Dikatakan Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Minggu (13/5), sejumlah pasal membuat Polri sulit bergerak. Ia mengutarakan teroris baru bisa ditindak jika terjadi tindakan teror. Contohnya aksi pengeboman 3 gereja di Surabaya.
“Kita tidak bisa melakukan apa-apa, hanya 7 hari menahan mereka, menginterview, setelah dilepas kita intai. Tapi setelah dilepas mereka kita intai juga menghindar,” katanya.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian meminta DPR melakukan pengesahan terhadap revisi UU Antiterorisme. Sehingga, Polri punya payung hukum dalam memberantas terorisme. “Revisi jangan terlalu lama, susah satu tahun lebih,” kata Kapolri.
Ia juga mengatakan jika revisi belum bisa disahkan, Presiden bisa mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu). Sebab, sebetulnya sel-sel terorisme ini jumlah anggotanya tidak besar.
Ia meminta dukungan masyarakat terkait pemberantasan terorisme. Ia percaya jika bersatu, pemberantasan teroris bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Sebab, aparat keamanan sudah mendeteksi lokasi sel-sel teroris ini. Hanya saja, karena tidak ada payung hukum, lokasi-lokasi tersebut hanya diawasi tanpa bisa ditindak. “Saat ini ilmu menghindari deteksi polisi yang dimiliki para pelaku teror sudah sangat canggih,” sebutnya.
Presiden diminta mengeluarkan Perpu untuk memberikan payung hukum terhadap tindakan Polri, TNI dan BIN dalam memberantas sel-sel teroris di Indonesua hingga ke akar-akarnya. (Bambang Wili/balipost)