BANYUWANGI, BALIPOST.com – Sebelum beraksi mengebom tiga Gereja di Surabaya, keluarga “bomber” mulai menunjukkan gelagat mencurigakan. Terakhir, keluarga ini mudik ke rumah orang tuanya di Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Januari 2018.
Saat itu, pelaku, Puji Kuswati minta izin akan menjual rumah yang dibelikan orang tuanya. “Katanya, rumah yang ditempati itu “kotor”,” kata Rusiono, perwakilan keluarga di Banyuwangi, Senin (14/5).
Keluarga di Banyuwangi, lanjutnya, sempat kaget dengan tindakan Puji Kuswati tersebut. Sebab, rumah itu dibeli dengan harga mahal. Sejak itu, Puji Kuswati, tak pernah berkomunikasi degan keluarga di Banyuwangi. Bahkan, saat pulang, Puji bersama keluarganya hanya beberapa jam. “Pagi tiba, malam langsung pulang,” jelasnya. Seperti biasa, kata Rusiono, ketika mudik, Puji dan keluarganya, selalu menghindar dengan keluarga. Mereka cenderung menyendiri, tak banyak mengobrol.
Menurut Rusiono, perilaku tak wajar Puji Kuswati mulai terasa sejak menikah. Gaya pakaiannya juga berbeda. Pihak keluarga tak menyangka, wanita yang lama diasuh budenya di Magetan, Jawa Timur ini terlibat jaringan teroris. “ Kalau anaknya memang pendiam. Setelah menikah, makin pendiam,” jelasnya.
Seperti diberitakan, bom bunuh diri di tiga Gereja di Surabaya, Minggu (13/5), ternyata dilakukan oleh satu keluarga. Masing-masing, Dita Upriyanto, Puji Kuswati dan keempat anaknya. Yakni, Yusuf Fadil, Firman Halim dan kedua anak perempuan, Fadhila dan Pamela Riskita. Mereka beraksi bersamaan.
Dita Upriyanto beraksi menggunakan mobil di Gereja Pantekosta Pusat, Surabaya (GPPS), Puji Kuswati beraksi bersama dua putrinya Fadhila dan Pamela Riskita di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Diponegoro, sedangkan Yusuf Fadil dan Firman Halim meledakkan diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya. (Budi Wiriyanto/balipost)