DENPASAR, BALIPOST.com – Beberapa negara dikabarkan telah mengeluarkan travel advisory bagi warganya untuk berkunjung ke Indonesia. Ini merupakan buntut dari adanya teror bom di Surabaya, Jawa Timur. Namun demikian, travel advisory ini belum berdampak hingga ke Bali. Dinas Pariwisata Provinsi Bali memastikan hingga Senin (14/5), belum ada cancelation atau pembatalan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Pulau Dewata.
“Australia dan Amerika katanya mengeluarkan travel warning untuk berhati-hati ke Indonesia. Mudah-mudahan itu tidak berdampak ke Bali, sebab orang bepergian itu kan sudah merencanakan jauh-jauh sebelumnya. Untuk cancel, khususnya ke Bali, kan tidak ada alasan karena kejadiannya ada di luar Bali,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, A.A. Gede Yuniartha Putra dikonfirmasi.
Selain itu, lanjut Yuniartha, pembatalan kunjungan juga tidak bisa diganti rugi. Beruntung sampai saat ini belum ada travel advisory yang ditujukan secara khusus untuk Bali. Mengingat Bali baru saja bangkit dari kejadian erupsi Gunung Agung. Belum lagi, sempat ada erupsi Gunung Merapi yang dikhawatirkan malah disebut sebagai erupsi Gunung Agung di media sosial. Namun, pihaknya bersama GIPI Bali sudah memberikan penjelasan mengenai hal itu.
“Jangan sampai nanti di media sosial, Gunung Agung yang dibilang meletus. Kalau ini (teror bom, red), saya belum (memberi penjelasan, red). Kita melihat situasi dulu lah, supaya saya jangan mendahului mengeluarkan itu, jadi menimbulkan rasa takut dari wisatawan,” jelasnya.
Yuniartha mengimbau masyarakat agar tenang dan berharap teror bom tidak sampai merembet ke Bali. Terlebih, Polda Bali bersama jajarannya kini sudah memperketat pengamanan di pintu-pintu masuk. Hingga Maret 2018, dikatakan sudah ada 1,3 juta lebih kunjungan wisman ke Bali. Terbanyak wisatawan dari Tiongkok, lalu Australia dan India.
Diwawancara terpisah, Gubernur Bali Made Mangku Pastika melihat para teroris kini semakin ofensif dan canggih. Oleh karena itu, masyarakat Bali diminta untuk lebih berhati-hati lagi, sekalipun upaya pengamanan kini sudah semakin ditingkatkan. Namun, rumus sederhana terorisme tetaplah adanya niat dan kesempatan.
“Bagaimana melihat niat? Kan susah. Tapi mestinya kalau kita sudah boleh bisa menggarap niat itu dengan indikasi-indikasi tertentu maka lebih awal kita tahu dan bisa mengambil tindakan,” ujarnya.
Menurut Pastika, aparat penegak hukum mestinya diberikan kewenangan pada tindakan preventif atau pencegahan. Dalam hal ini kewenangan untuk mengambil tindakan sebelum para teroris itu bertindak, melalui pengesahan RUU tentang Terorisme. Seperti halnya di Malaysia atau Singapura, aparat setempat bisa mengambil tindakan jika sudah menemukan adanya indikasi kejahatan tanpa harus menunggu barang bukti yang lengkap.
Sementara di Indonesia saat ini, penegak hukum ibaratnya seperti sedang menonton akuarium dengan banyak ikan di dalamnya. Mereka pun sudah mengetahui bila semua ikan itu berbahaya, tapi tidak bisa menangkapnya. “Selama tidak berbuat sesuatu, selama tidak ada barang bukti ya…. susah mau bertindak. Jadi, nunggu dulu sampai ada barang bukti seperti senjata, bahan peledak, baru bisa ditindak. Kalau tidak, tidak bisa karena hukumnya begitu,” jelasnya.
Mengutip pernyataan Kapolri, Pastika menyebut saat ini ada 500 orang Indonesia eks ISIS sudah pulang ke tanah air dari Suriah. Selain itu, masih ada 1100 orang lagi yang belum pulang ke Indonesia atau menunggu dideportasi. Polisi saja tidak mungkin mengawasi seluruh eks ISIS tersebut. Apalagi, para eks ISIS sudah siap untuk mati dan sangat sulit untuk mengubah pemahaman seperti itu.
“Jadi jangan heran kalau satu keluarga mau mati dengan seperti itu. Oleh karena itu, kita buatlah Undang-undangnya. Terorisme itu berbeda dengan perampokan,” tandasnya. (rindra/balipost)