DENPASAR, BALIPOST.com – Radikalisme bukan “barang” baru. Sudah ada dari dulu bahkan sejak zaman Soeharto.
Namun radikalisme tidak mampu berkembang di Indonesia karena warga negara Indonesia memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. “Itu sudah dibuktikan sampai saat ini, negara kita masih kokoh berdiri. Artinya bahwa orang-orang penganut paham radikalisme tidak mampu berkembang biak karena seluruh komponen masyarakat Indonesia bergandengan tangan saling bahu membahu untuk mempertahankan NKRI,” kata Dr. Gede Wirata, S.Sos., SH., M.AP, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Ngurah Rai (Fisipol UNR), Sabtu (19/5).
Para pejuang Indonesia mempertahankan NKRI dengan titik darah penghabisan. Saatnya sekarang generasi penerus yang mempertahankan NKRI ini.
Walaupun masih ada sebagian kecil yang menganut paham radikalisme. Namun kadarnya tidak dalam kondisi yang gawat karena terbukti NKRI masih kokoh berdiri sampai saat ini. “Ada riak-riak kecil dalam bernegara wajar, tentu juga terjadi di negara manapun, ada riak kecil,” ujarnya.
Meski dalam kondisi yang tidak gawat namun masyarakat harus tetap meningkatkan kewaspadaan untuk menangkal paham radikalisme. Seperti terjadinya teror bom di Surabaya.
Masih ada orang yang memiliki perbedaan paham dan kembali muncul ke permukaan. Perbuatan segelintir orang ini harus tetap diwaspadai dengan menguatkan rasa persatuan. Karena meski dilakukan oleh segelintir orang, bisa berpotensi memecah NKRI jika dibiarkan.
Paham radikalisme dengan puncaknya bom Surabaya ini muncul kembali setelah teror di Sarinah tahun 2016. Teror bom justru terjadi menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan presiden.
Isu yang berkembang di media sosial mengaitkan teror bom Surabaya memiliki keterkaitan dengan kepentingan politik. Namun hal itu dibantah Wirata.
Menurutnya teror bom karena ada kepentingan politik tentu berbeda dengan teror bom karena paham radikalisme yang dianut. “Saya pikir itu akan membuat masyarakat antipati. Mereka (orang politik yang berkepentingan) tidak mengurus hal-hal seperti itu. Dia memiliki perjuangan yang berbeda,” pungkasnya.
Teror bom bisa saja dikait-kaitkan dengan adanya kepentingan politik mengingat menjelang pemilihan presiden dan kepala daerah. “Apalagi menjelang Pilpres, pasti dikait-kaitkan kesana. Tapi saya rasa tidak sejauh itu. Kepentingannya berbeda. Menurut analisa saya,kepentingan itu ada karena segala sesuatu ada kepentingan. Tapi terkait bom ini tidak mungkin kepentingan politik sampai sejauh itu,” imbuhnya.
Teror bom karena pengaruh paham radikalisme bertujuan untuk memperlihatkan dirinya di tingkat nasional maupun internasional bahwa di Indonesia ada paham radikal. Penganut paham radikal ingin membangun image di Indonesia.
Karena zaman Soeharto paham seperti itu dibumihanguskan. Kemudian setelah reformasi, paham itu muncul kembali karena demokrasi, kebebasan yang kebablasan. “Inilah dia mulai memunculkan dirinya bahwa mereka tidak mati dan masih ada,” ungkapnya.
Zaman Soeharto disebutkan ada paham Petrus, penembak misterius. Jaman itu ada mayat dimana-mana. Namun tidak terekspose. Karena pada waktu itu pers dibungkam. “Kalau sekarang kan kebebasan yang kebablasan,” tukasnya.
Oleh karena itu, di era reformasi ini diharapkan pers dalam memberitakan sesuatu harus seimbang. Karena jika ada masyarakat yang kurang memahami, akan termakan oleh pemberitaan di media. Pers memiliki peran penting untuk memberitakan dan memberikan informasi yang seimbang agar masyarakat paham.
Selain itu, pengetahuan masyarakat juga ada yang masih terbatas dan tidak semua bisa menerima. Walaupun sekarang merupakan zaman globalisasi tidak seluruh rakyat Indonesia mengetahui hal itu.
Di daerah pegunungan masih sangat miskin dengan informasi. Bahkan di Bali tidak semua terkoneksi dengan internet. (Citta Maya/balipost)