SINGARAJA, BALIPOST.com – Usaha pembuatan garam tradisional di Buleleng dihadapkan pada masalah serius. Selain lahan untuk membuat garam semakin berkurang karena tergerus abrasi, persoalan lain nasib usaha yang digeluti warga di Bali Utara ini sekarang terkatung-katung.
Pemerintah telah menghentikan pemberian bantuan yang sebelumnya rutin direalisasikan setiap tahun. Kebijakan ini diperparah lagi dengan pengalihan pengelolaan kelautan sekarang dialihkan ke Dinas Perikanan Provinsi Bali, sehingga pemkab pun tidak bisa berbuat banyak “melindungi” usaha ini.
Usaha pembuatan garam di Buleleng banyak digeluti oleh warga di Desa Les dan Desa Tejakula (Kecamatan Tejakula). Di wilayah ini areal pembuatan garam tradisional seluas 0,9 hektar.
Rinciannya, 0,5 hektar di Desa Les dan Desa Tejakula seluas 0,4 hektar. Selain memproduksi garam tradisional, di wilayah ini juga sudah dirintis pembuatan garam piramida untuk memenuhi pasar ekspor. Untuk usaha garam piramida ini dikelola oleh pihak perusahaan.
Selain itu, warga di Desa Pemuteran dan Desa Pejarakan sejak lama juga berprofesi sebagai petani pembuat garam. Di dua desa ini tercatat luas areal pembuatan garam tradisional seluas 32,5 hektar.
Selain menghasilkan garam krosok, ada satu usaha pembuatan garam di Buleleng barat ini untuk keperluan di restoran dan pasar ekspor berupa garam dengan belasan variasi rasa. Dari dua loaksi sentra garam Buleleng di Kecamatan Gerokgak tahun 2017 sebanyak 7.496,8 ton. Sedangkan, di Kecamatan Tejakula produksinya tercatat 18,4 hektar.
Kepala Dinas Perikanan Buleleng Ni Made Arnika didampingi Sekretarisnya John Beny, Senin (21/5), mengatakan, pembuatan garam di daerahnya sampai sekarang tetap berkembang kendati sekarang kewenangan pengelolaan kelautan sudah diambilalih pihak Pemprov Bali. Namun demikian, pihaknya mengaku pembuatan garam Buleleng menghadapi persoalan serius terutama dukungan pemeirntah melalui program bantuan dengan anggaran Tugas Pembantuan (TP) yang berasal dari APBN.
Jika sebelumnya, petani garam bisa mendapatkan bantuan hingga Rp 300 juta, sekarang dana itu tidak bisa dialokasikan karena Kementerian Kelauatan Perikanan (KKP) menghentikan kucuran dana tersebut. Petani garam di daerahnya masih diperlukan karena setiap tahun petani bisa mendapat bantuan penambahan sarana dan prasarana untuk meningkatkan produktifitas dan kualitas garam.
Atas kondisi ini, Arnika mengaku khawatir kalau petani garam Buleleng nantinya semakin berkurang. Untuk itu, lewat berbagai kesempatan pihaknya mengusulkan agar Dinas Perikanan Pemprov Bali untuk memperhatikan nasib pembuat garam di Buleleng.
Selain itu, dia juga mengharapkan Pemprov bisa memperjuangkan agar program penguatan kelembagaan, produktivitas, dan kualitas garam bisa “menyentuh” semua kompok petani pembuat garam di Buleleng. “Kami berharap pemprov yang memperhatikan karena kam sendiri tidak diberikan kewenangan untuk itu. Ini sudah kami sampaikan dan kalau perhatian ini kurang, kami kahwatir kalau garam Buleleng tidak lagi beredar untuk memenuhi perminataan konsumen di dalam daerah,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)