DENPASAR, BALIPOST.com – Posisi BPR dari hari ke hari bukannya makin berkembang. Dari kondisi yang ada sekarang ini, posisinya justru makin terjepit.
Saat ini Non-Performing Loan (NPL) BPR tinggi. Selain itu, sejumlah faktor juga cukup menyulitkan BPR berkembang.
Salah satunya faktor makin sempitnya ruang gerak BPR. Profitnya pun tipis. Terlebih, bank umum semakin ekspansif dengan menyasar tiap kecamatan dan membuka kantor hingga ke pelosok. Belum lagi adanya lembaga jasa keuangan (LJK) lain seperti LPD, koperasi dan terbaru fintech.
Ketua Perbarindo Bali Ketut Wiratjana mengatakan, Perbarindo sangat mengharapkan kepada regulator untuk memperhatikan hal ini. Agar persaingan sesama industri keuangan dapat berjalan dengan sehat, ia berharap regulator menentukan areal yang cocok bagi usaha masing-masing. Artinya, ada pengaturan area sesuai dengan segmennya masing-masing.
“Ini memang terjadi di lapangan. Namun itulah peraturan kita, karena tidak ada larangan untuk industri Perbankan antara bank umum dengan BPR. Tapi kita harus semangat dan yakin karena setiap usaha apapun kalau kita fokus dan ulet niscaya kita akan berhasil,” ujarnya.
Kepala OJK Divisi Regional Bali Hizbullah mengatakan, saat ini ada 136 BPR (sebelumnya 138). Dari 136 BPR, 3 diantaranya merupakan milik pemerintah. Sisanya milik swasta yang berbadan hukum PT.
Berdasarkan jaringan kantornya, ada 324 kantor BPR yang tersebar di seluruh Bali. Sebanyak 110 jaringan kantor (33,95 persen) berada di Kabupaten Badung, 61 jaringan kantor (18,83 persen) berada di Kabupaten Gianyar dan 51 jaringan kantor (15,74 persen) berada di Kota Denpasar.
Meskipun jaringan kantor BPR lebih banyak di Kabupaten Badung, namun sebaran kredit yang disalurkan lebih banyak di Denpasar yaitu Rp 3.389 miliar (34,74 persen), Badung Rp 2.583 miliar (26,48 persen).
Berdasarkan data OJK, pertumbuhan aset BPR dari Maret 2017 ke Maret 2018 tumbuh 10,82 persen dari Rp 12.956 miliar menjadi Rp 14.358 miliar. Aset ini tumbuh seiring dengan tumbuhnya DPK (dana pihak ketiga) dan kredit BPR.
DPK BPR dari Maret 2017 ke Maret 2018 tumbuh 15,12 persen (yoy) dari Rp 8.470 miliar menjadi Rp 9.750 miliar. Namun pertumbuhan DPK tidak seimbang dengan pertumbuhan kredit.
Kredit BPR hanya tumbuh 5,85 persen pada periode sama. Yaitu dari Rp 9.216 miliar kredit yang disalurkan pada Maret 2017 meningkat menjadi Rp 9.755 miliar pada Maret 2018. Nilai kredit yang disalurkan BPR sangat jauh berbeda dengan bank umum. Karena bank umum mampu menyalurkan kredit Rp 71.629 miliar pada Maret 2018.
Sementara NPL (non performing loan) atau kredit bermasalah BPR 7,81 persen pada Maret 2018. Terus meningkat sejak Maret 2017. Yaitu dari 6,71 persen pada Maret 2017, 6,77 persen pada Desember 2017 dan pada Maret 2018 7,81 persen.
Pendapatan bank, termasuk BPR di Indonesia terbesar adalah dari penyaluran kredit. Penyaluran kredit BPR pada Maret 2018 lebih banyak untuk modal kerja yaitu Rp 4.774 miliar, terbesar kedua untuk konsumsi yaitu Rp 3.574 miliar dan investasi Rp 1.407 miliar.
Berdasarkan sektoral, penyaluran kredit BPR terbesar adalah bukan lapangan usaha sebesar Rp 3.013 miliar (30,89 persen), untuk perdagangan besar dan eceran Rp 2.745 miliar dan real estate Rp 1.305 miliar. Ketidakseimbangan penyaluran kredit dan penghimpunan DPK terlihat pada LDR (loan to deposit ratio).
LDR BPR pada Maret 2017 adalah 74,45 persen, pada Desember 2017 adalah 73,12 persen dan Maret 2018 adalah 71,65 persen. Sementara rasio LDR yang diatur regulator untuk masuk kategori bank sehat adalah lebih dari 78 persen – 92 persen.
LDR ini pun mempengaruhi profitabilitas BPR yang diukur dari rasio ROA (return on assets). ROA BPR hanya tumbuh 0,14 persen (yoy). Bahkan dibandingkan dengan Desember 2017, ROA BPR pada Maret 2018 adalah minus 0,05 persen. (Citta Maya/balipost)