JAKARTA, BALIPOST.com – Panitia Kerja (Panja) Pansus RUU revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme melaporkan hasil kerja yang menghasilkan norma-norma baru dan rumusan strategis berupa materi dan pasal-pasal baru hasil revisi yang pembahasannya dilakukan selama kurang lebih dua tahun.
Dalam rapat kerja Pansus RUU Antiterorisme bersama pemerintah di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis malam (24/5), Wakil Ketua Pansus RUU Antiterorisme merangkap Ketua Panja Supiadin Aries Saputera mengungkapkan hasil laporan kerja tim panja berikut sejumlah norma baru hasil revisi.
Rapat Pansus dipimpin Ketua Pansus RUU Antiterorisme Muhammad Syafi’i. Dari unsur pemerintah diwakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly beserta jajarannya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Badan Nasional Pananggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Aliyus, Irwasum Polri Komjen. Putut Eko Bayuseno mewakili Kapolri, dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum), Noor Rochmad mewakili Jaksa Agung.
Supiadin menjelaskan sejumlah rumusan fundamental strategis dari hasil masukan berbagai anggota Pansus bersama Panja pemerintah.
“Kami perlu sampaikan bahwa terdapat penambahan banyak substansi pengaturan dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme untuk menguatkan pengaturan yang telah ada dalam UU 15/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” sebut Supiadin.
Berikut Norma sejumlah hal baru di RUU Antiterorisme:
A. Kriminalisasi baru terhadap berbagai modus baru tindak pidana terorisme, seperti jenis bahan peledak, mengikuti pelatihan militer atau paramiliter atau latihan lain, baik di dalam negeri maupun luar negeri, dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme.
B. Pemberatan sanksi terhadap pelaku tindak pidana terorisme baik permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme.
C. Perluasan sanksi pidana terhadap korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang-orang yang mengarahkan kegiatan korporasi.
D. Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu.
E. Keputusan terhadap hukum acara pidana seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum serta penelitian berkas perkara tindak pidana terorisme oleh penuntut umum.
F. Perlindungan korban tindak pidana sebagai bentuk tanggung jawab negara.
G. Pencegahan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh instansi terkait seusai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan BNPT.
H. Kelembagaan BNPT dan pengawasannya serta peran TNI.
Selain itu, terdapat rumusan fundamental yang strategis dari hasil masukan berbagai anggota Pansus bersama Panja pemerintah.
A. Adanya definisi terorisme agar lingkup kejahatan terorisme dapat diidentifikasi secara jelas sehingga tindak pidana terorisme tidak diidentikkan dengan hal-hal sensitif berupa sentimen terhadap kelompok atau golongan tertentu, tapi pada aspek perbuatan kejahatannya.
B. Menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan, sesuai dengan Universal Declaration of Human Rights 1948, adalah hak bagi setiap orang atas kewarganegaraan dan tidak seorang pun dapat dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya.
C. Menghapus pasal yang dikenal oleh masyarakat sebagai Pasal Guantanamo yang menempatkan seseorang sebagai terduga terorisme di tempat atau lokasi tertentu yang tidak dapat diketahui oleh publik.
D. Menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban tindak pidana terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak hak korban yang semula di UU 15/2003 hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja. Kini dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang baru telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban yang meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi.
E. Mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini disahkan. Artinya bagi para korban sejak bom Bali pertama sampai Bom Thamrin.
F. Menambahkan ketentuan pencegahan. Dalam konteks ini, pencegahan terdiri atas kesiapsiagaan nasional kontraradikalisasi dan deradikalisasi.
G. Memasukkan ketentuan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab negara.
H. Melakukan penguatan kelembagaan terhadap BNPT dengan memasukkan tugas, fungsi, dan kewenangan BNPT.
I. Menambah ketentuan mengenai pengawasan.
J. Menambah ketentuan pelibatan TNI yang dalam hal pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan presiden dalam jangka waktu pembentukannya maksimal 1 tahun setelah UU ini disahkan.
K. Mengubah ketentuan kejahatan politik dalam pasal 5, di mana mengatur bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari kejahatan politik yang tidak dapat diekstradisi. Hal ini sesuai ketentuan UU 5/2006 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris.
L. Menambah pasal yang memberikan sanksi terhadap aparat negara yang melakukan abuse of power.
“Demikian beberapa kemajuan dalam pembahasan yang telah dicapai selama pembahasan rancangan undang-undang ini. Selain itu, perbahan tentu saja terjadi dari segi redksional serta pasal dan ayat sesuai dengan perubahan subtansi tersebut. Pembahasan sudah melalui perumusan dan sinkronisasi sehingga rancangan undang-undang akan lebih sistematis,” ujar Supiadin. (hardianto/balipost)