DENPASAR, BALIPOST.com – Penanganan pra rumah sakit (RS) di Bali belum sesuai harapan. Dokter spesialis bedah RSUP Sanglah dr. I Nengah Kuning Atmadjaya, Sp.B (K) Trauma, KKL., FICS., FINACS. mengatakan penanganan pra-RS belum dilakukan dengan baik.
Sementara tindakan yang dilakukan di rumah sakit tergantung dari penanganan yang dilakukan saat pra hospital. “Selama ini kita berpikir penanganan terbaik di rumah sakit. Tapi rumah sakit itu adalah penanganan terakhir. Penanganan awal adalah bagaimana penanganan di tempat kejadian. Misalnya ada masalah di air way, ini harus ditangani di tempat kejadian. Misalnya ada trauma yang menyebabkan kelainan di dada atau paru-paru. Itu harus ditangani, karena itu yang menyebabkan kematian. Setelah stabil, baru transportasi ke RS,” bebernya.
Ia mengatakan Indonesia belum memiliki data valid kasus trauma di Indonesia. Namun berdasarkan data dari bagian/divisi jantung, trauma menduduki peringkat ketiga penyebab kematian, nomor satu jantung dan nomor dua stroke.
“Kita komisi trauma mencari data tentang trauma di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Denpasar, Surabaya, Yogyakarta. Hasilnya, trauma menduduki peringkat pertama penyebab kematian. Namun data itu tidak mewakili seluruh Indonesia,” demikian disampaikan
Angka kasus trauma 4,8 persen itu, menurutnya, tinggi. Trauma terjadi akibat kecelakaan. Secara teoritis angka kematian trauma kecelakaan 50 persen terjadi di tempat kejadian, 30 persen terjadi saat transportasi dari tempat kejadian ke rumah sakit, dan 20 persen kematian terjadi di RS.
Satu-satunya kabupaten/kota yang mengcover 4 instansi dalam satu tim penanganan bencana adalah Denpasar. Empat instansi itu adalah polisi, pemadam kebakaran, ambulans, dan rescue. “Walaupun Denpasar mempunyai titik-titik kolaborasi tapi konsep dari penanganan pra hospital. Mereka belum paham betul,” tandasnya. Maka dari itu diperlukan sistem penanganan pra hospital yang baik untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas (angka kecacatan dan kematian).
Ia mencontohkan pada bom Bali tahun 2002 belum mempunyai sistem. Lalu Bali membuat sistem dengan belajar keluar negeri. “Sistem kita buat di Bali ternyata efektif. Pada bom Bali 2005 itu respond time bagus sekali. Kejadian jam 7 tapi jam 11 sudah kembali normal, walaupun jumlahnya sangat banyak. Kita bisa kembali ke normal. Karena masyarakat, pecalang, muda/i dilatih menangani trauma, bencana di luar rumah sakit. Sehingga respond time sangat cepat,” bebernya. (Citta Maya/balipost)