MANGUPURA, BALIPOST.com – Ratusan krama lanang (warga laki-laki) mengenakan pakaian adat, sambil membawa tongkat kayu berkumpul di sekitar Pura Puseh dan Desa, Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung. Mereka berkumpul menunggu prosesi di pura tersebut selesai, dan selanjutnya melaksanakan tradisi “ngerebeg” atau yang lebih dikenal dengan “mekotek”.
“Tradisi ngerebeg ini adalah suatu peringatan kemenangan perang kerajaan Mengwi pada saat itu, yang sampai sekarang diwarisi atau diperingati dengan mekotek atau ngerebeg”, kata Bendesa Desa Adat Munggu I Made Rai Sujana saat ditemui di Pura Puseh dan Desa, Desa Adat Munggu, Sabtu (9/6).
Jro Bendesa pun secara sekilas menceritakan bahwa tradisi ini awalnya dari kerajaan Mengwi yang dulu beristana di Munggu, dengan rajanya Ida Cokorda Nyoman Sakti Munggu. Dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya di wilayah Blambangan, Jawa Timur, sebelum pasukan Mengwi yang bernama pasukan “goak selem” berangkat, tepatnya pada hari Tumpek Kuningan, Raja Mengwi melakukan semedi di Pura Dalem Kahyangan Wisesa, Munggu. Kemenangan atau keberhasilan pasukan ini diperingati dengan tradisi ngerebeg.
Bendesa Desa Adat Munggu menambahkan bahwa awalnya ngerebeg dilakukan dengan tombak. Masa penjajahan Belanda tradisi ini sempat dilarang, karena dikira akan mengadakan pemberontakan. Sehingga beberapa kali tradisi ini ditiadakan penyelenggaraannya, sehingga terjadilah wabah penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau gerubug.
Akhirnya beberapa tokoh adat dan agama melakukan negosiasi dengan Belanda, dan diijinkanlah tradisi ngerebeg digelar kembali. Tetapi sarana yang dipakai bukan tombak, namun diganti dengan kayu “pulet”.
Sehingga selain sebagai peringatan kemenangan pasukan goak selem, tradisi ini juga diyakini warga memiliki kekuatan magis yakni sebagai penolak bala. Tradisi ini juga sebagai ajang untuk mempersatukan anak-anak muda yang ada di masing-masing banjar adat, sehingga mereka akan terhindar dari perbuatan negatif, seperti Narkoba, kebut-kebutan dan lainnya.
Tradisi ini diikuti hampir seluruh kaum pria dari 12 banjar adat yang ada di Desa Adat Munggu. Dengan membawa tongkat kayu sepanjang sekitar 3,5 meter, mereka berjalan mengelilingi wilayah desa.
Saat tiba di beberapa tempat, seperti persimpangan jalan maupun didepan pura kahyangan tiga, mereka berkumpul dan menyatukan ujung tongkat membetuk piramida. Sesekali terlihat salah seorang pemuda memanjat tumpukan tongkat tersebut, dan setelah sampai dipuncak piramida, tidak beberapa lama tumpukan tongkat kayu tersebut akan jatuh. (Eka Adhiyasa/balipost)