Wisatawan saat mengunjungi Ubud, Gianyar. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ada istilah Bali untuk pariwisata. Nampaknya hal itu benar adanya. Karena tagline “Pariwisata untuk Bali” justru terjadi sebaliknya, yaitu Bali untuk pariwisata. Pertanian dan budaya Bali justru perlahan-lahan berubah dengan adanya pariwisata.

Bukti nyatanya, lahan pertanian beralih fungsi. Bahkan hasil pertanian lokal Bali tak mampu bersaing, membuat pertanian Bali kalah saing. Lalu apa kata pelaku pariwisata soal anggapan ini?

Wakil Ketua Umum I DPP Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) I Made Ramia Adnyana, SE., MM., CHA. sejak awal mendengungkan komitmennya terhadap pertanian dan budaya Bali. “Komitmen pariwisata masih tetap konsisten untuk memajukan pertanian dan budaya Bali. Sebab hal tersebut sesuai dengan tujuan pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development),” ujarnya Selasa (12/6).

Baca juga:  Antisipasi Lonjakan, Empat Ruangan RSUD Karangasem Disiapkan Untuk Pasien Covid-19

Menurutnya pariwisata merupakan satu-satunya industri yang mampu membawa Bali ke puncak kejayaan. Mengingat Bali tidak memiliki sumber daya tambang seperti halnya daerah lain di Indonesia.

Dengan pariwisata, Bali memiliki daya saing yang unggul dan keunggulan komparatif. Komitmennya untuk pariwisata Bali bukan hanya di mulut. Kontribusi pariwisata terhadap Bali sangat jelas yaitu melalui multiflier effect.

Dari sisi ekonomi, pariwisata berkontribusi terhadap PAD, penyerapan tenaga kerja dan bergeraknya ekonomi masyarakat. Hal itu merupakan kontribusi tidak langsung bagi masyarakat Bali. Sedangkan kontribusi langsung, sedikit tidaknya hasil pertanian lokal Indonesia khususnya Bali telah terserap industri pariwisata sebesar 75 – 80 persen.

Baca juga:  Perketat Sistem Pengamanan, Pengunjung di Obyek Wisata Diperiksa

“Pendapat yang menyatakan kontribusi pariwisata terutama terhadap pelaksanaan implementasi buah lokal nol, kurang tepat. Sebab selama ini industri pariwisata Bali selalu meng-absorb produk buah lokal,” ujarnya.

Diakui, memang ada beberapa buah tertentu yang diambil dari luar karena tidak ada produksinya di Bali. Tapi dari hampir 47 jenis buah lokal, sudah hampir 29 terserap oleh industri pariwisata terutama untuk breakfast, lunch dan dinner serta fruit basket di hotel. “Sepanjang kualitas, kuantitas dan kontinyuitas terjaga, buah lokal akan tetap diserap industri pariwisata,” bebernya.

Baca juga:  Aktivitas Pasar Ubud Lesu

Selama ini selalu ada salah penafsiran dan pengertian. Setiap ada alih fungsi selalu pariwisata yang menjadi kambing hitam. Pada saat pertanian tidak mampu bersaing, selalu pariwisata yang disalahkan.

Padahal pembangunan pariwisata berkelanjutan memiliki manfaat dan dampak yang sering disebut tripple bottom line. Yaitu memberi manfaat secara ekonomi, mampu melestarikan budaya, menjaga kelestarian lingkungan. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *